"Tinggi banget, gimana ngambilnya?" Tanganku berusaha menggapai buku Psikologi Kepribadian yang terletak di rak paling atas.
Kenapa buku itu sangat sulit digapai? Kenapa pula penjaga perpus menaruhnya di rak paling atas?
"Susah banget sih, ih ... gak nyampe-nyampe," gerutuku pelan sambil menghela napas kasar.
Menyebalkannya datang ke perpus ya seperti ini ... aku pasti sulit menggapai buku yang ingin kubaca.
Aku mulai kesal. Pandanganku menyapu ke berbagai arah guna mencari tangga untuk mengambil buku yang kumaksud.
Ah, tapi sial. Tangga yang biasanya berdiri manis di deretan rak buku sastra juga tidak ada di sana.
Aku mengembuskan napas kesal. Aku menatap kosong sepatuku. Andai saja aku mempunyai kaki yang jenjang, tidak akan sesulit ini hanya untuk mengambil buku di rak paling atas.
"Perlu bantuan?" tawar seseorang di belakangku dengan suara bass-nya.
Membuatku refleks memutar tubuhku dan membulatkan mataku seketika saat mendapati Senja berdiri di belakangku dengan cengiran khas yang menampilkan gingsul pada gigi taringnya.
Dia, Senja. Orang yang entah keberapa kalinya selalu membuatku terpaku karena senyum dan tatapannya.
"Buku mana yang mau diambil?" tanyanya, langkahnya berpindah berada tepat di sampingku.
Aku masih bergeming. Masih sedikit terkejut karena ... ish, bagaimana bisa tiba-tiba ada Senja? Di perpustakaan, pula!
Anak sekeren dia yang saat ini mengenakan jaket jins berwarna biru gelap dan sepatu kets Nike berwarna biru dongker dengan tas yang tersampir di bahu kanannya, serta rambut yang acak-acakan dengan penampilan seadanya khas anak seni, mau menapakkan kakinya di dalam perpustakaan? Yang benar saja!
"Lo kenapa sih, setiap kali gue tanya selalu diem aja?"
Aku menggeleng samar, berusaha menyadarkan diriku kalau Senja masih ada di sampingku--untuk menolong mengambilkan buku yang letaknya sulit tergapai itu.
"Nggak kenapa-napa, cuma agak aneh aja, jarang-jarang ada anak fakultas seni, apalagi permusikan yang mau masuk ke perpus."
Dia mendengus, sepertinya tersinggung dengan ucapanku. Membuatku menggigit bibir kuat-kuat, takut salah mengucap.
"Emang salah ya, kalo anak Musik dateng ke perpus?"
Aku menggeleng cepat.
"Yaudah, lagian gue mau nyari buku ini tadi ...," balasnya, sambil menunjukkan buku berwarna biru tosca yang lumayan tebal bertuliskan 'Sejarah Instrumen Klasik' langsung membuatku mengerutkan dahi.
Seolah tahu akan kebingunganku, dia pun menjawab, "anak seni permusikan juga punya tugas sama beratnya kayak anak Psikologi, kok." Senyuman singkat menutup klarifikasinya. "Jadi, lo mau ngambil buku apa?" tanyanya lagi, sambil memiringkan kepalanya dengan alis terangkat sebelah.
Aku berdeham, rasanya tenggorokanku mengering dengan sendirinya melihat ekspresi lucu dari wajahnya karena dia belum berhenti bicara sejak tadi. "Itu, buku warna putih ada kuning-kuningnya yang tulisannya 'Psikologi Kepribadian'," kataku, sambil menunjuk pada buku yang kumaksud.
Dengan sigap Senja mengambilkan buku yang sejak tadi menyusahkanku. Lalu dia memberikan buku itu padaku.
Semudah itu?
Aku mendengus kesal. Sejak tadi aku susah payah mengambilnya, tapi ternyata tubuh proporsional Senja justru dengan mudahnya mengambil buku itu.
"Thanks, daritadi gue kesusahan mau ngambil ini doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
Teen Fiction[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...