Ada banyak hal yang harus aku pelajari dalam hubungan ini--memasuki dunia seorang Senja. Mau tak mau aku harus terbiasa dengan kehidupan asli Senja yang jauh berbeda dariku.
Senja adalah cowok yang supel, siapapun mengenalnya. Sampai anak dari Fakultas Sastra juga mengenalnya. Awalnya aku risih dengan orang-orang yang sepertinya lebih mengenal Senja, dibanding aku. Tapi semakin hari, aku mulai berusaha untuk terbiasa dan menerima kalau aku memang orang baru dalam kehidupannya.
Aku semakin tahu siapa Senja yang sesungguhnya, saat ada acara pensi untuk merayakan ulang tahun anak Fakultas Seni beberapa waktu lalu, dia mengajakku, seolah memaksaku untuk ikut ke dalam dunianya dan aku harus melakukan itu.
Karena statusku sudah menjadi kekasihnya, bukan lagi teman dekat seperti beberapa waktu lalu.
Dan sungguh, aku cukup terkejut sekaligus minder saat kutahu Senja dikelilingi cewek-cewek cantik, badai abis, semampai, dan terutama ... berbakat serta supel. Sama seperti dia.
Lalu aku?
Aku ini bukan apa-apa dibanding mereka. Sudah sejak awal kukatakan, aku cuma cewek aneh dari Fakultas Perdukunan yang kebetulan beruntung bisa dekat, bahkan menjadi kekasih dari seorang Senja Rahardian yang nyaris sempurna dan disukai banyak orang.
Aku memerhatikannya dari sini, Senja dan dunianya yang asik.
Katanya, dia mau ada urusan sebentar dengan teman-teman dari fakultasku, makanya dia berada di fakultasku sekarang. Dia sedang berbincang seru dengan salah satu anggota BEM.
Aku diminta untuk menemaninya, tadi dia mengajakku masuk, tapi aku enggan. Selama dua tahun aku kuliah, belum pernah sekali pun menginjak ke sekretariatan BEM. Aneh rasanya, aku yang bukan anak organisasi harus masuk-masuk ke dalam sana.
Aku tersenyum tipis, memerhatikan Senja yang tetap enak dilihat walaupun sekarang ada kerutan di dahinya, sepertinya dia sedang berpikir keras untuk melaksanakan suatu project bersama anak Psikologi demi sebuah acara yang tidak pernah kumengerti.
Namun senyumku memudar saat kurasakan bahuku ditepuk oleh seseorang. Aku menengok ke samping, sedikit terkejut dengan kehadiran Fikar--salah satu teman satu fakultasku, juga salah satu teman dekat Senja. Dia tersenyum, menampilkan deretan giginya yang dibehel dengan warna kawat abu-abu.
Fikar dan behelnya yang selalu gonta-ganti warna karet. Aku pun membalas senyumnya, karena teringat dengan kebiasaannya mengganti karet behelnya setiap minggu.
Kebanyakan duit, kalau kata Asyara.
"Ngapain di sini? Tumben amat nongkrong di depan sekret BEM?"
Aku tergelak, dia tahu rupanya aku jarang kemari. Sedikit menggaruk tengkuk yang tak gatal, aku tersenyum padanya. "Lagi nungguin temen."
Dia manggut-manggut, lantas akhirnya memilih duduk di sebelahku.
"Temen apa 'temen', Del?" dia terkekeh, lagi-lagi menampilkan kawat giginya yang berwarna abu-abu.
"Temen, Fik!"
Dia menggeleng sambil tertawa. "Temen tapi bikin deg-degan ya, Del?"
Aku mengerutkan kening, sedikit berpikir ... jangan-jangan Fikar tau kalau Senja ada di dalam?
Mau tak mau, aku hanya membalasnya dengan ikut terkekeh, sedikit menunduk karena takut terlihat mukaku memerah.
Dia semakin tertawa melihatku. Kemudian menggeleng pelan dengan decakan yang meledek. "Pantesan aja Senja gemes banget sama lo, Del! Lo aja begini, malu-malu kucing najisun!"
Aku pun tertawa mendengar ledekannya. Apa pula, malu-malu kucing najisun?!
"Lo sendiri ngapain di sini, Fik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
Teen Fiction[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...