Sabtu, 7 Januari '17
Perhatian!!!
Mungkin part ini bakal sangat membosankan, soalnya banyak narasi. Tapi please, jangan diskip biar paham inti dari cerita trus sampe juga perasaannya buat baca ini he he.
Ditunggu ya, komentarnya tentang part ini.
Love you, guys~
CEKIDOTS DIBACA
===============================================================================
Tanggal 10 di bulan Oktober, itu artinya hubunganku dan Senja sudah menginjak enam bulan. Waktu terasa sangat singkat saat bersama Senja.
Aku melirik Senja yang sedang memetik gitarnya. Katanya, untuk mengatur nadanya supaya suara yang keluar nggak sember. Apalah, bahasanya Senja kadang slang kebangetan.
Seolah sadar sedang diperhatikan, dia mendongak ke arahku yang sedang menatapnya sambil berdiri menyandar di samping meja hias serta memegang kalender.
"Kenapa lo?" tanyaku sok polos, padahal seharusnya pertanyaan itu tertuju padaku.
Gantian, alisnya sekarang yang terangkat sebelah. "Lah, seharusnya gue yang tanya, lo kenapa ngeliatin gue daritadi sambil megangin kalender gitu?"
Aku terkekeh, lantas menghampirinya masih dengan kalender yang berada di genggaman. "Tanggal 10, Sen! Idih banget aku bisa betah sama orang kayak kamu, sok ganteng, ganjen, brengsek, kurang sabar apa ya aku?" sindirku, sambil menunjuk angka sepuluh di kalender padanya.
Dia menjitak kepalaku pelan. "Ya bangkek, itu ciri-ciri negatifnya nggak usah disebut sih!"
Aku mengusap bekas jitakannya tadi. "Besok aku jadi nemenin kamu manggung?"
Dia mengangguk. "Tapi kamu boleh, nggak?"
"Tanya aja sama Tante deh, aku nggak berani izin."
"Ah dasar culun, kemana-mana aja susah!" serunya sambil mendecakkan lidah.
Aku bergeming karena sedikit tersentil dengan ucapannya. Senja benar, aku memang culun, tidak seperti dia dan teman-temannya yang bisa keluar rumah sesuka hati. Aku tidak bisa seperti yang lain, yang bisa selalu ada untuk menemani pacarnya pergi kemana pun.
Mungkin Senja sadar dengan aku yang tiba-tiba membisu. Kulihat dia dari ujung mataku, dia menggeser gitar yang tadi dipeluknya, gantian merangkulku.
Aku membuang wajah kemanapun asal bukan menatapnya.
"Dih, lo kenapa? Omongan gue ada yang salah yak?"
Dih, nggak sadar lidah!
"Dimana yang salah, Mar?"
Aku masih bergeming, menggeser pelan tangannya yang berada di atas pundakku.
"Ya Allah, kayak gitu aja ngambek. Salah terus aku mah."
Cih, sok teraniaya.
"Kenapa?" tanyanya, memaksakan wajahku agar mengarah padanya.
"Gue emang culun, Sen. Tapi bisa nggak sih, itu kalimat nggak usah keluar dari mulut kamu? Rasanya ngeselin kalo kamu yang ngomong!"
Bukannya tersinggung, Senja justru tertawa. Dia bangkit dari duduknya, dan berjongkok tepat di hadapanku.
"Bercanda, elah!" elaknya sambil mencubit hidungku. "Nanti aku bilangin ke Tante kamu. Udah sih, nggak usah minder."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
أدب المراهقين[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...