Part 6

2.4K 239 33
                                    

Setelah Senja pamit pulang, aku baru bisa benapas lega. Karena rasanya malam ini dia begitu aneh, terang-terangan meminta izin padaku untuk mendekatinya.

Bahkan ucapannya terus terngiang di kepalaku.

"Gue terus-terusan mikirin ucapan lo yang bilang kalo kita udah gede, udah tau orang seperti apa yang dideketin tanpa perlu nanya basa-basi. Dan sekarang, gue boleh kan pelan-pelan ngambil hati lo dan kita sama-sama belajar untuk saling mengenal lebih jauh?"

Dan seketika itu juga, aku bingung harus mengatakan apa. Semua kalimat di otakku terasa membeku. Aku hanya bisa mengangguk sebagai balasan permohonan Senja.

Lalu dia memastikan ucapannya lagi.

"Gue bukan nembak, tapi mungkin belum. Karena gue ngerasa ini terlalu cepet."

Dia pun menyadari hal itu. Dia terlalu cepat mengungkapkan perasaannya, tapi ternyata semua ungkapan perasaannya bukan untuk memintaku menjadi bagian dari hidupnya sekarang.

Aku sedang mencoba untuk semakin membuka hati agar aku yakin kalau Senja serius dengan ucapannya sendiri.

"Tadi itu siapa, Del?"

Pergerakanku tiba-tiba menjadi kikuk begitu kulihat Tante sudah berada di sofa ruang tamu sambil mengambil potongan martabak yang dibawakan Senja.

"Temen, Tan," sahutku singkat, sambil menutup pintu dan menguncinya karena Senja baru saja pulang.

"Temen kok kayaknya sweet banget, bawain sogokan pula," sahutnya enteng, sambil terus mengunyah martabak tanpa melihat ke arahku.

Aku jadi bingung harus menjawab apalagi, karena kenyataannya Senja memang teman. Lalu soal membawakan martabak, hanya sekedar bingkisan karena akan bertamu ke rumah orang, apa hal itu salah?

"Ya emang temen, Tan. Lagian namanya mau bertamu pasti bawain sesuatu buat tuan rumah lah, Tante gimana sih."

Tanteku hanya terkekeh. Dia mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap mulutnya yang licin karena minyak dari martabak. "Itu mah Tante juga tau. Cuma ada yang mengganjal aja, udah lama banget gak ada cowok yang statusnya temen kamu dateng ke rumah ini lagi selain Bagas. Temenmu tadi kuliah?"

Aku mengangguk. Lantas ikut duduk bersamanya di salah satu sofa.

"Kok style-nya selengek'an banget, kuliah dimana?"

Interogasi dimulai ....

"Di (1) UnCak, emang gayanya begitu, terserah dia banget."

"Mahasiswa UnCak?" tanyanya sambil membulatkan matanya. "Fakultas apa dia?" lanjutnya, semakin antusias.

"Permusikan."

"Hmm," sahutnya sambil manggut-manggut.

Aku pura-pura fokus pada martabak yang masuk ke mulutku.

"Mau jadi guru musik, dia? Siapa namanya, Sen ... Sendi? Sen ...."

"Senja, Tan. Senja Rahardian."

"Hemmm."

"Dia baik kok anaknya, emang gayanya aja sedikit berantakan, katanya sih dulu mau masuk Psikologi atau Komunikasi. Tapi nggak jadi, akhirnya milih Permusikan."

Lagi, Tanteku hanya manggut-manggut, membuatku takut salah bicara. Aku lebih memilih melihat Tanteku bawel atau teriak-teriak sekalian daripada seperti ini. Dia terlihat jelas seperti menilai Senja di kepalanya sekarang.

"Untung aja ganteng, gaya berantakannya jadi ketutup sama wajahnya. Ngapain dia ke sini malem-malem?" sahutnya sarkas, membuatku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal.

Seindah SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang