Dia, Senja.
Seseorang yang mampu membuatku terpaku saat pertama kali bertemu dengannya.====•====•====•====•====•====
"Gue boleh duduk di sini?"
Suara seseorang yang tak pernah kudengar sebelumnya berhasil menghancurkan imajinasiku ketika sedang membaca novel Autumn in Paris karya Ilana Tan, membuatku menolehkan kepalaku ke arah suara itu.
Dia tersenyum.
Menampilkan lesung pipi di sebelah kirinya yang sama persis seperti diriku. Membuat jantungku bertalu lebih kencang dari sebelumnya.
Aku terpaku menatap senyum itu.
"Hey?" tanyanya sekali lagi, memastikan kesadaranku dengan menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku. "Ada orang gak di sini?"
Aku menggeleng.
Dia semakin mendekat dan duduk di sampingku. "Berarti gue boleh kan ya duduk di sebelah lo?"
Aku masih membisu, namun kepalaku mengangguk tanpa seizinku. Tak lama, aku berdeham berusaha menutup kecanggungan dengan membalikkan halaman buku yang berada di pangkuanku.
"Lo sering ada di taman kampus ini?"
Aku menoleh, menatapnya yang ternyata masih menampilkan senyuman berlesung pipi yang nampak menyempurnakan wajahnya.
"Gak terlalu sih, tapi tempatnya enak aja buat baca buku."
Entah mengapa, ia justru menghela napas yang terdengar di telingaku setelah mendengar balasan yang kukatakan.
Fokusku kembali pada novel digenggamanku. Belum sampai kalimat dalam novel meresap sempurna di otakku, cowok di sampingku ini sudah mencoba mengeluarkan suaranya.
"Gue baru liat lo di kampus ini. Lo anak fakultas mana?"
Lagi. Untuk kedua kalinya, aku merasa jantungku berdetak tidak normal. Bukan karena wajahnya yang enak dipandang, melainkan caranya bertanya tentang diriku.
Dia yang pertama. Orang asing pertama di kampus ini yang mau menanyakan dari mana asal fakultasku. Biasanya mereka yang berada di sini seolah tak peduli dengan keberadaanku yang selalu saja tenggelam dengan duniaku.
"Psikologi."
Dia tampak semakin membulatkan matanya yang tajam itu. "Wih, keren. Jadi ... gue lagi ngobrol sama anak Psikologi yang pinter-pinter itu?"
Aku menggeleng samar, tersenyum skeptis dengan ucapan bodohnya.
"Berarti lo bisa baca perilaku gue dong? Berarti lo bisa tau dong kalo gue lagi bohong?"
Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku, menertawai kepolosannya dalam hati. Aku terkekeh pelan. "Lo pikir, gue dukun bisa nebak sampe kayak gitu?"
Ia tersentak, tak lama menyipitkan matanya dan tertawa lebar manampilkam giginya yang tak rapi karena ada gingsul pada gigi taringnya. "Hahahaha lo lucu juga ya. Anak Psikologi kan emang dukun!" serunya, masih tertawa hingga mataku mendelik ke arahnya.
"Gue belajar di kampus, bukan kursus sama Ki Joko Bodo."
Dia justru semakin tertawa, hingga mengerutkan keningnya dan membuat napasnya terengah. "Sumpah, lo kocak juga diem-diem."
Aku menggeleng pelan, sambil terkekeh menertawai betapa lucu wajahnya yang tertawa seperti tadi.
"Kenalin, gue--," ucapannya terputus. Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapanku sambil berdeham singkat. "Gue Senja Rahardian."
Senja?
Aku terpaku dengan namanya yang unik. Menatap kosong tangannya yang menggantung di hadapanku.
"Nama lo siapa?" tanyanya, membuyarkan lamunan singkatku.
Kali ini aku yang mengikutinya untuk tersenyum dan membalas uluran tangannya padaku. "Dela Asmarani."
Dia membalas senyumanku, mengeratkan genggamannya padaku, yang membuat seluruh aliran darahku terasa lebih deras mengalir di tubuhku.
"Oke, Dela Asmarani. Boleh, kan kalo gue panggil lo dengan ... Mara?"
Aku berusaha mencerna ucapannya, kenapa pula dia harus repot-repot mengganti nama panggilanku dengan nama yang dia inginkan?
Tak lama aku mengangguk juga pada akhirnya, menyetujui permintaannya.
Dia tersenyum sembari menggoyangkan telapak tangan kami yang terkait. "Seneng bisa kenal sama lo. By the way--"
Aku mengerutkan keningku, menunggu ucapannya yang menggantung.
"Gue kayaknya mesti balik duluan deh, keburu sore nanti gue gabisa bengong di balkon ngeliatin awan."
Aku terkekeh pelan, alasannya pamit cukup lucu bagiku. "Silakan," balasku diikuti senyuman dibibirku.
Lalu Senja beranjak dari duduknya, meraih tas gendongnya dan merogoh kantong celananya guna mengambil sesuatu dari dalam.
"Mesti ngebut nih, biar bisa ngeliat langit sore. Jalanan macet gak ya?" tanyanya, sambil memutar gantungan kunci motor yang ia keluarkan dari dalam kantung celana.
Aku mendongak, menatap wajahnya yang terlihat was-was. "Kayaknya sih ... iya," sahutku sambil melirik jam tangan di tangan kiriku.
Dia nampak tergesa, dengan kening yang berkerut ketika menatap awan yang tertutup daun lebat dari pepohonan.
"Senja?" panggilku, ketika ia hendak melangkahkan kakinya. Entah mengapa aku merasa enggan ia pergi secepat ini.
Dia menoleh, membuatku menelan salivaku ketika mataku bertemu dengan mata tajam sekaligus teduh miliknya. "Lo anak fakultas mana?"
Kali ini ia yang tersenyum miring, tak lama senyumnya tergantikan dengan cengiran di wajahnya. "Musik, tau kan?"
Aku mengangguk mantap. Tidak menyangka akan bertemu dengan salah satu anak musik yang memiliki tingkat kegaulan super di kampus ini.
"Oh, iya tau kok."
Ia mengangguk singkat, melambaikan tangannya ke arahku. "Yaudah, kalo gitu gue duluan, ya! Semoga kita bisa ketemu lagi. Bye, anak Psikolog!"
Aku mengangguk, justru terkekeh melihatnya tersenyum lebar.
Dia berjalan menjauhiku hingga punggung lebarnya menghilang dari pandanganku.
Ketika sadar, aku mengatupkan bibirku yang sejak tadi masih tersenyum memerhatikannya.
Dia, Senja Rahardian.
Seseorang yang entah bagaimana caranya, membuat fokusku selalu mengarah padanya sore hari ini.
Lalu aku mengadahkan pandanganku ke arah awan, menutup novel yang sejak tadi terbuka saat bersama Senja.
Dia, Senja.
Entah apa yang mengganjal di sudut hatiku, tapi aku yakin kalau nanti dan seterusnya kami akan sering bertemu.
Semoga firasatku itu bukan hanya ilusi atau rasa percaya diri saja.
==========================
12 Mei 2016
Jadi, ada yang bisa ngebayangin gimana tjakepznya Senja sampe bikin Mara salah tingkah?
![](https://img.wattpad.com/cover/69273445-288-k3113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
Подростковая литература[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...