Setelah aku menyetujui ajakan Senja untuk pulang bersama, dia sekarang justru memintaku ikut ke gedung C--tempat anak-anak fakultas ilmu pendidikan dan kesenian berada.
Dan di sinilah aku, berjalan beriringan dengan Senja di sampingku, membawa tasnya yang tersampir asal dan sesekali menyahuti sapaan dari orang-orang yang mengenalnya.
Aku hanya bisa menunduk. Malu kalau sampai ada yang mengenaliku. Tapi aku ini siapa? Aku hanya manusia kutu buku dari banyaknya mahasiswa kece di fakultas Psikologi.
Sadar akan langkahku yang melambat, Senja menengok ke arahku. "Kenapa?"
Aku tersenyum sambil menggeleng samar. Tidak mungkin 'kan, kalau aku mengatakan sedang minder sekarang?
"Gue harus banget ya ikut masuk?" tanyaku, ketika kami sampai di depan pintu kesekretariatan mahasiswa.
Senja hanya mengangguk. "Emang kenapa, lo malu?"
Aku mengigit bibir bawahku. Tebakan Senja tepat sasaran.
Seperti tahu akan ketidaknyamananku, Senja menggiringku untuk duduk di salah satu bangku depan ruangan itu. "Duduk sini sebentar, gue mau nemuin temen gue doang kok, dia lagi minjem gitar gue soalnya. Jadi biar dia bawa pulang aja."
Aku mengangguk, Senja langsung memasuki ruang sekretariat.
Tak lama, dia keluar dan duduk di sampingku. "Mau pulang sekarang?"
Duh, Senja ini aneh. Tadi dia yang memintaku pulang bersamanya, lalu mengulur waktu dan mengajakku ke sini. Sekarang, dia malah bertanya hal retoris seperti itu. Parah!
Aku diam saja, memutar bola mataku, malas menanggapi Senja. Tapi dia justru terkekeh melihat ekspresiku.
"Yuk!" ajaknya, sambil mengulurkan tangan.
Tidak, tidak!
Kami baru kenal. Baru bertemu dua kali. Lantas, dengan mudahnya dia memintaku menerima uluran tangannya? Dasar modus!
Aku hanya memerhatikan tangan itu dengan wajah monoton. Sadar dengan keenggananku, Senja menarik lagi tangannya dan menggaruk tengkuknya.
Hahah, dia salah tingkah! Jangan dipikir aku mudah terkena modusnya yang sejak tadi lancar jaya!
"Hem, sorry ... gak maksud--"
"Motor lo dimana?" tanyaku, mengalihkan kecanggungan.
"Di parkiran lah!" dia mendelik dengan pandangannya yang usil. "Rumah lo dimana?"
"Ditinggal, lah!" Kali ini aku tersenyum miring, membalas ucapan songong Senja.
Dia tertawa, sampai matanya menyipit. "Sialan, omongan gue dipantulin!"
Aku hanya terkekeh, menyeimbangi langkah Senja yang lebar.
"Seriusan, rumah lo dimana? Kan nggak mungkin gue ngajak lo pulang bareng, dan gue gak tau dimana tempat tinggal lo!"
Bisa banget!
Aku ingin menertawakan Senja saat ini. Modal dustanya lancar sekali, Mas!
"Ya ... nanti lo juga tau."
***
Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam, mendengarkan Senja yang memperkenalkan dirinya dengan sendirinya, menceritakan hari-harinya selama berada di fakultas musik tanpa kuminta.
Dia bilang, anak-anak permusikan paling susah diajak kerja kelompok, apalagi kalau dikasih tugas sama dosen, maunya nongkrong aja di kantin, main gitar, main tam-tam, nyanyi ala band jalanan. Mentalnya anak jalanan semua, tapi malah rata-rata anak orang berkecukupan. Dan Senja sendiri bingung, kenapa dia bisa terjun lalu terjebak di antara orang-orang seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senja
Novela Juvenil[COMPLETED] Aku menyukai langit senja. Indah, tak akan pernah bosan kumelihatnya seperti saat bersama Senja. Tapi sayang, kebersamaanku dengan Senja hanya sesaat. Layaknya langit senja kala warna jingga berganti hitamnya malam. Mungkin seperti itula...