-

1.1K 115 60
                                    


••

P R O L O G U E

••

P i e c e o f F u r t h e r S t o r y


Gelap gulita adalah salah satu kata yang tepat untuk situasi ini. Telapak kakiku merasakan sesuatu yang terdiri dari butiran halus.

Pasir, hanya itu yang kudapat.

Tanganku mencoba untuk meraba suatu benda atau apa pun itu, untuk memprediksi di mana keberadaanku saat ini. Kosong. Tak ada apa pun di sini. Teriakan frustrasi kuekspresikan sebab aku merasa dipermainkan oleh ekor kegelapan yang membelitku erat.

Secercah cahaya oval muncul beberapa meter dari hadapanku setelah beberapa detik teriakanku bergema di kegelapan ini. Bulatan tekadku berhasil membuat kakiku berjalan lurus menuju cahaya itu. Aku berjalan pelan di tengah lautan pasir ini. Lensa mataku yang biasanya melihat ke arah mana pun, kali ini justru mengawasi ke arah depan. Pandanganku seolah terpaku pada cahaya yang jauh itu.

Tak ada satu pun orang selain diriku yang melintas. Tak ada suara binatang apa pun. Hanya keheningan yang tersisa. Suara tapak kaki telanjangku yang berfrekuensi di bawah 20 hertz, terus memainkan ketukannya. Ya, aku terus berjalan pelan. Jujur, aku tak tahu harus bagaimana lagi selain berjalan.

Entah di mana aku berada sekarang. Namun aku merasa ada sesuatu yang hilang di daerah ini. Sesuatu yang tak pernah terlewat dalam lintasan khatulistiwa otakku. Sang penjelajah waktu atau entah nama apa yang pantas diberikan padaku saat ini semakin membuatku bingung. Karena jujur, aku bahkan tidak menemukan mesin waktu. Lalu bagaimana mungkin aku bisa menjelajah waktu seperti ini?

Langkahku terhenti, pupil mataku membesar, instingku yang terlalu peka yang melakukannya. Angin yang datang dari belakang tubuhku, membelaiku dengan lembut setelahnya. Lututku lemas, ingin jatuh rasanya.

Akhirnya setelah beberapa detik berlalu, lututku jatuh ke daratan pasir ini. Rasa lemas yang semula berasal dari daerah kaki, kini telah menjalar ke atas, dan ke atas. Tanganku yang terayun oleh angin malam, seperti lumpuh. Tubuhku terhempas ke samping. Ribuan pasir menyambut tubuhku seiring dengan angin lembut yang bertiup.

Aku masih terjaga. Aku tidak ingin bila sampai tak sadarkan diri lagi, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasir halus di sekitarku, merayapi tangan juga kakiku. Dan saat hampir seluruh tubuhku dirayapi oleh pasir yang dapat bergerak itu, kelopak mataku sudah tak tahan untuk menutup mata.

Namun batinku tetap terjaga, tidak biasanya hal ini terjadi. Sepertinya tekadku yang keras dapat mematahkan rasa kantuk ini. Butiran halus yang mulanya kusimpulkan adalah pasir hidup ini, telah berubah nama menjadi pasir hisap. Ya, separuh tubuhku terserap ke dalam pasir ini. Hanya satu yang kuminta, kuharap pasir ini bukanlah portal menuju bagian dari dimensi yang tak kuharapkan. Mustahil kedengarannya, tapi aku tetap mempercayainya.

Aku bisa saja bertemu bahkan bergabung dengan kaumnya. Namun tidak dengan cara seperti ini. Kuakui dimensi mereka lebih indah dibanding Bumi. Bagaimana pun juga, aku tak sepenuhnya percaya pada dimensi itu terlebih dengan keberadaan mereka. Karena memang pada dasarnya aku sulit mempercayai seseorang atau sesuatu.

Apakah aku sudah benar-benar gila? Kuharap tidak.

Kini pasir hisap tersebut sudah melumat habis makanannya, yaitu aku.

***

Author's Note


Thanks for your votes
Those are really meaningful for me

Aetheverdel ( H I A T U S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang