Fifth

367 41 5
                                    


••

C h a p t e r   5

••

W a i t i n g   u n t i l   i t   h a p p e n s

••

  Sosok itu hanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku menaikkan salah satu alisku, pertanda meminta penjelasan. Namun ia hanya tersenyum simpul.

  "Akan kutunjukkan,"

  "Tunggu ... Apa? Apa yang ingin kau tunjukkan?" Keberanianku terkuras seketika.

  Menurut pengalamanku sebagai penonton film atau pun pembaca novel, aku akan dibawa ke suatu tempat yang entah dimana keberadaannya. Rasa kepercayaan yang sebelumnya bertumbuh, kini telah runtuh. Hanya tersisa puing-puingnya.

  Tubuhku mendadak agak kaku.

  Ekspresinya berubah. Senyumnya memudar dan ia menatapku datar.

  Tatapannya menyiratkan suatu kesedihan yang teramat dalam. Lalu ia mengungkapkan sesuatu. Sesuatu yang tampak telah lama ia pendam.

  "Kau pernah berkata kalau semua ini memang mengambil resiko yang besar." Hening. Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kukatakan.

  "Aku ... Aku mohon ... Ingatlah sesuatu!" ucapnya agak keras. Dengan kedua mata yang terus menatapku lekat-lekat. Kedua telapak tangannya menyentuh bahuku. Suasana semakin canggung.

  Tubuhku semakin kaku. Aku bahkan tak dapat mengedipkan mataku. Nafasku sesak. Dadaku tak merespon perintah dari otakku. Apakah ini karena aku tak percaya lagi padanya?

  "Percayalah. Hanya itu yang bisa menolongmu."

  Kata-katanya terdengar seperti suara malaikat yang memanggilku dari lubang kematian. Nafasku semakin sesak. Otakku serasa tak mendapat pasokan oksigen.

  Tak ada pilihan lain, selain mempercayainya. Akhirnya kuputuskan untuk percaya padanya. Sebab aku merasa, ialah satu-satunya harapanku.

  Mataku berkedip. Nafasku kembali stabil. Tubuhku terasa lemas, hampir terjatuh. Hingga kaki kiriku mundur ke belakang, kugunakan sebagai tumpuan tubuhku yang hampir jatuh.

  "Dari mana kau tahu namaku?" tanyaku setelah beberapa menit keheningan terjadi.

  "Aku mengenalmu. Sangat mengenalmu,"

  "Aku bahkan tak mengenalmu," ucapku dingin dan datar. Terkesan tak mempedulikannya sama sekali. Jujur saja, aku sudah kebal dengan ekspresi wajah semacam itu.

  "Baiklah. Kau memiliki karunia yang membuatmu dapat memanipulasi waktu. Aku yakin setelah kejadian itu, kau akan percaya padaku. Entah sampai kapan, kau pasti akan mengerti. Dan saat kau percaya sepenuhnya padaku, kita akan bertemu lagi. Kau harus keluar dari kehidupan palsumu selama ini,"

  "Kehidupan palsu?" Aku tertarik dengan pemikirannya.

  "Apa yang kau lihat, bukan berarti kebenarannya,"

Aetheverdel ( H I A T U S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang