•••
•
C h a p t e r 4
•
••
•
L i x i e A e t h e v Q u o r t h a
•
••
•
Siulan burung hasil rekayasa genetika bernama Heelavia, memecahkan fantasi gadis itu. Dengan raut wajah yang sulit diartikan, ia termenung dalam kesedihan tak terungkap. Ia memandang burung itu. Pandangan penuh arti yang menyiratkan sihir, ia buat dalam kepalanya. Hingga burung itu hancur berkeping-keping dengan darah yang menyebar di sekitarnya. Ya, burung itu adalah tipe pembunuh yang dapat merobek daging manusia dalam sekali gigit, jelas ia membunuhnya tanpa merasa bersalah.Ini bukanlah akhir permasalahan. Melainkan awal dari perjuangan yang sesungguhnya. Langkahnya diiringi kematian. Portal untuk keluar dari dimensi ini tak dapat ditemukan lagi. Karunia berubah menjadi kutukan baginya. Namun ia tetap menghadapinya, walau terpaksa.
BUG
Kututup buku fantasi yang kupinjam dari perpustakaan kemarin. Hari ini adalah hari yang kuhabiskan dengan membaca buku ini. Tepatnya sudah 5 jam aku membacanya tanpa henti.
Yah, aku suka membaca novel bergenre fantasy atau sci fi. Membuatku serasa dapat masuk ke dalam cerita khayalan mereka.
Terkadang aku berpikir tentang para novelis. Bagaimana bisa bualan seseorang dapat membius para manusia hingga mereka rela merogoh uang mereka? Maksudku, kata pengarang terdengar seperti pembual dan hasil bualan mereka dapat membuat banyak dari mereka menjadi sukses. Pekerjaan konyol. Sekaligus menguntungkan.
Walau kuakui, karya mereka memang bagus. Dan aku juga ... ketagihan dengan cerita bualan mereka. Karya mereka mampu menyeret jiwaku ke dimensi yang berbeda. Menarikku keluar untuk sementara, dari realita membosankan di Bumi.
Lamunanku terus membentuk garis-garis abstrak yang lama kelamaan seperti benang kusut. Ya, aku terus berpikir ke hal yang lainnya dan melamun.
Aku sering melamun hingga terkadang resolusi penggambaran dari otakku termasuk tingkat tinggi. Atau dengan kata lain, aku sering membayangkan sesuatu saat aku melamun. Hingga terkadang aku bisa tersenyum atau tertawa sendiri.
Mungkin aku memang terlihat gila. Bukan. Mungkin aku memang gila.
Termasuk kali ini. Aku tertawa lepas di kamarku yang kedap suara. Ya, kedap suara. Sebab dinding-dinding kamarku telah difasilitasi peredam suara.
Ini terjadi saat umurku yang ke 5, aku suka bermain sendirian sambil berteriak. Aku bahkan masih ingat, dulu aku suka berpetualangan di kamarku. Sejak dulu, aku adalah penggila film fantasy dan sci-fi. Hingga aku suka membuat rekayasa di otakku, lalu kuaplikasikan ke sekitarku. Aku selalu bertingkah dramatis.
Mainanku dulu adalah action figure dari Jepang dan Amerika. Juga kostum limited edition yang dulu sering kupakai. Terkadang aku pun bermain game hingga berteriak heboh.
Aku tak pernah ingin bermain bersama teman. Atau keluargaku. Sebab itu, akhirnya ayahku memberikan fasilitas peredam suara di dinding kamarku.
Agar setiap aku bertingkah dramatis di kamarku atau pun bermain game hingga berteriak, aku tak akan mengganggu ibuku yang kala itu sebagai ibu rumah tangga. Sebab ibuku menyukai ketenangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aetheverdel ( H I A T U S )
FantasyAku tak pernah percaya pada teleportasi atau pun mesin waktu. Sebab aku tahu bahwa mereka hanyalah fantasi. Terjebak oleh ilusi dan realita. Tersesat oleh interpretasiku sendiri. Opini menjadi fakta. Dan fakta menjadi opini. Aetheverdel. Entah ini...