Second

540 55 10
                                    


••

C h a p t e r   2

••

T h e   M a i n   C h a r a

••


  Lensa mataku yang berwarna biru laut ini menatap dalam ke sebuah rumah bertingkat yang tampak sepi. Rumah yang terlampau sering terlihat sepi layaknya tak berpenghuni. Sebuah rumah yang terkadang membuatku bernostalgia miris karena memori menyakitkan yang pernah menusuk batinku begitu perih.

  Aku menuruni mobilku, hendak membuka pagar rumah tersebut. Lalu kuparkir kendaraan ini ke halaman rumah. Aku berjalan untuk menutup pagar sambil tersenyum miris. Senyuman yang tercipta karena aku telah kehilangan sahabatku di rumah ini, sekitar seminggu yang lalu. Walau pun aku mempunyai sahabat baru, namun aku tak pernah melupakan momen penting bersama sahabat lamaku.

***

  Selesai membasuh tubuhku, aku langsung melangkah menuju taman belakang. Aku yakin sahabat baruku pasti sedang menunggu di sana. Sesampainya di taman belakang, ia langsung berlari menghampiriku.

  "Chocho!" teriakku senang. Aku pun langsung menggendongnya ke kursi taman. Kuusap kepalanya perlahan saat ia sudah bermalas-malasan di pahaku. Ya, Chocho adalah seekor anak anjing lucu. Ialah sahabatku yang baru. Karena sahabatku yang lama telah mati. Tangisanku mengalir selama 15 menit lamanya setelah ia dinyatakan mati karena sudah terlampau tua. Dan itu termasuk tangisan terlama semasa aku remaja.

  Bagaimana tidak? Ia sudah menemaniku bertahun-tahun. Bahkan setelah 3 hari kematiannya aku masih bertekad untuk tidak membeli peliharaan baru sebagai sahabatku. Ya, kematian Floe adalah hal yang membuatku bernostalgia miris.

  Namun akhirnya aku memutuskan untuk memandang dari sudut pandang yang berbeda secara lebih kompleks. Aku memutuskan berpikir bahwa semua makhluk yang mempunyai raga, pasti akan mati. Tidak mungkin aku hanya bergantung padanya dan terus meratapi nasib. Kalau ia sudah tiada, cari saja yang baru.

  Akhirnya 4 hari yang lalu aku membeli anak anjing shiba berwarna cokelat dan putih. Tapi bagaimana pun juga, aku takkan melupakan Floe sahabat lamaku. Aku takkan pernah melupakan semua kenanganku bersamanya. Floe tak bisa digantikan atau disamakan oleh siapa pun. Chocho bukanlah pengganti Floe.

  Tak ada yang bisa menggantikan satu sama lain, karena keduanya adalah berbeda.

  Ponselku bergetar agak lama, pertanda telepon masuk. Tch, sungguh mengganggu. Ini pasti telepon dari ayah atau ibuku. Benar dugaanku, saat aku melihat layar ponselku, nama Rachel tertera di bagian atas ponselku. Akhirnya kuputuskan untuk menerimanya sambil memutar bola mataku.

  "Halo, Lixie?"

  "Ya," ucapku dengan nada datar.

  "Kau sudah makan?"

  "Belum,"

  "Segeralah makan. Kau harus menjaga kesehatanmu. Jangan lupa mengkonsumsi vitamin yang sudah ibu beli untukmu ... Apa kau sudah mandi?"

Aetheverdel ( H I A T U S )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang