•••
•
C h a p t e r 3
•
••
•
C u r i o u s i t y
•
••
•
Sebuah benda elektronik yang berada tidak jauh dari kasur seorang gadis malas terlihat lesu, karena gadis itu hanya mematikan alarm ponselnya lalu kembali tidur. Hampir setiap hari hal ini terjadi. Dan hanya pada lagu kelima alias alarm kelima yang berbunyi, ia baru benar-benar bangun, bersiap untuk sekolah.
Itulah rutinitas pagiku sejak umurku 13 tahun. Memalukan memang. Tapi siapa peduli? Yang terpenting penghuni di sekolahku tak tahu hal ini.
***
Pelajaran fisika. Tch. Membosankan. Rasanya aku ingin membengkokkan tulang punggung guru fisika yang menyebalkan ini. Ia selalu bercerita panjang lebar tentang masalah percintaan remaja. Para gadis di kelasku banyak yang menyukai gaya berceritanya. Namun aku ... sama sekali tak tertarik. Yah, memang sulit menemukan orang yang sesuai dengan selera anehku.
"Lix?" Aku menoleh ke sumber suara sebagai ungkapan kata 'apa'.
"Apa kau--" kalimatnya menghilang seketika.
Keanehanku terjadi lagi. Pandanganku buyar lalu gelap. Suasana seakan mengatakan bahwa ini bukanlah dimensi Bumi. Cahaya samar memenuhi tempat ini. Membuatku dapat melihat dengan cahaya minimalis.
Tubuhku kaku dalam posisi berdiri. Perlahan sebuah rantai melilit betis kananku. Bergerak memutar seperti ular. Aku ingin melepaskannya dengan tanganku. Namun tak bisa. Aku tak dapat mengontrol tubuhku. Lilitannya begitu erat. Rasa sakit yang tak terungkap. Jeritan tercekat di tenggorokanku.
Seseorang ...
Aku mohon ...
Lepaskan ikatannya ...
Harapan datang tak terduga. Seseorang tampak berjalan tak jauh dariku. Rambut panjangnya berwarna perak gelap. Dari caranya berdiri, tampaknya ia menghadap ke arahku. Sungguh.. Aku ingin tersenyum ke arahnya. Namun syaraf-syaraf wajahku tak merespon otakku. Ya, aku tak mampu hanya untuk sekadar tersenyum.
Tapi ... memangnya untuk apa ia datang untukku? Sepertinya ia tak berniat menolongku.
Namun aku tetap berharap.
Sosoknya menghilang tiba-tiba. Teleportasi? Mustahil. Aku tak percaya hal semacam itu.
Ini hanyalah halusinasi.
Hanya kalimat itu yang terus terulang dalam benakku. Sentuhan tangan lembut menyentuh betisku. Sepertinya tangan ini berniat melepaskan ikatan rantainya. Sangat mudah dilepaskan. Aku hampir tak percaya. Kupikir akan membutuhkan tenaga saat melepasnya.
Sosok itu berdiri. Wajah kami berhadapan. Ia menatapku lekat-lekat. Tatapannya tajam namun entah kenapa aku dapat merasakan ketenangan dari sorot mata tajamnya. Wajahnya cantik, kuakui.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aetheverdel ( H I A T U S )
FantasyAku tak pernah percaya pada teleportasi atau pun mesin waktu. Sebab aku tahu bahwa mereka hanyalah fantasi. Terjebak oleh ilusi dan realita. Tersesat oleh interpretasiku sendiri. Opini menjadi fakta. Dan fakta menjadi opini. Aetheverdel. Entah ini...