Oleh: ACeHa KaeF.
Untukmu sunyi, ada kesah yang tak sempat berkisah. Kalaupun riuh, tak ubahnya bayu yang menderu. Menelisik pada daun kering hingga gemerisik. Luruh, menemui takdirnya berhara. Pada simpul semi terkumpul demi. Demi senyum dan pinak seduri mawar, atau sepasi melati wangi menguar.
Jika pun selubang jarum harapan yang kau berikan, adalah keniscayaan bagiku untuk dapatkan kerlingan.
Sayangnya, aku sekedar bulu mata penghias, di tiap kali kau menatap cahaya gemerlap.
Begitu dekat, begitu lekat, juga begitu ... lenyap.
Aku memang merdeka memilih 'tuk hengkang. Namun peri(h) ini tiada impas nak puas. Biarlah aku sejenak mengunggah sedu sedan. Karena setelahnya dapat dipastikan, bahwa tegar bersemi karena guyurnya.
Rasaku padamu tak lebih semisal udara yang kuhela.
Asaku padamu cukup hanya selayaknya mentari di gigilnya sua.Masa yang tak pernah berdamai dengan hasrat, selalu suguhkan rajangan hati yang berkarat.
Rindu yang memburai, diteriklantarkan siang tak hujan. Lalu kau pertanyakan rinai isak yang menyabit ilalang kenang. Pijak telah rekah, sepecah cahya meregang gamang. Kita telah menanam desau bermesiu pitam.
Sumenep, Agustusan 2015

KAMU SEDANG MEMBACA
MERAH YANG MENARA
Thơ caSekumpulan diksi usang (puisi; entahlah!) yang berdentum dalam ranum momentum.