"Apa ini barang terakhir?"
Aku menganggukkan kepalaku setelah memperhatikan isi rumahku yang sudah sedikit kosong, hanya tinggal beberapa barang besar yang tak mungkin ku bawa pindah. Kurir itupun mengangkut dus besar terakhir yang baru saja diambilnya dari ruang tengah. Haaah, rumah ini terlalu banyak meninggalkan kenangan.
Sebulan sudah hubungan ku dengan Rose bisa dibilang menjadi sangat dekat, semenjak aku mengajaknya ke Taman Bermain kala itu. Aku tak tau pasti kapan tepatnya kami sering menghabiskan waktu bersama setiap harinya. Tertawa, bercanda, menghabiskan waktu ku yang tak begitu banyak sebelum aku meninggalkannya, hari ini.
Truck barang yang membawa barang-barang yang akan ku bawa pindah sudah pergi. Aku menatap Bibi Ruth yang terlihat berat melepas kepergianku. Ia sudah menjadi sosok ibu kedua untukku, semenjak Mum tak ada. Hanya ia lah yang setia menemaniku dan merawatku selama ini.
"Kau yakin akan pergi hari ini, son?" tanyanya dengan nada sedih. Ku peluk tubuhnya erat hingga aku merasakan kalau bahunya bergetar. Ia menangis.
"Aku berjanji akan mengunjungimu setiap Natal, Bi."
"Jaga dirimu. Jangan forsir tenagamu untuk melakukan hal yang tak begitu penting. Jangan melukis atau menulis lagu hingga larut malam. Jangan-"
"Hahaha, iya Bi. Aku mengerti," ucapku sebelum Bibi Ruth berbicara lebih panjang. Karena kalau sudah menasehatiku, ia tak akan pernah behenti dan tak akan ada ujungnya. "Jaga kesehatanmu, Bi. Aku akan kembali lagi Natal nanti."
Bibi Ruth kembali memelukku dan pelukannya kali ini jauh lebih lama dari pelukan sebelumnyat. "Aku akan sangat merindukanmu," lirihnya pelan. Aku menganggukan kepalaku, sebagai tanda kalau aku setuju dengan ucapannya. "Aku juga akan merindukanmu, Bi."
"Ah, iya!!!" serunya dengan begitu semangat sambil melepaskan pelukanku. "Apa kau sudah memberi tau Rose kalau kau akan pergi hari ini?" tanyanya.
Well, Bibi Ruth memang sudah tau tentang Rose jauh sebelum aku memperkenalkan Rose dan bermain ke rumahku. Ia pernah menemukan sketsa wajah Rose di kamarku saat ia sedang membereskan kamarku. Aku sendiri lupa kalau aku pernah menuliskan beberapa bait puisi dibalik sketsa wajahnya itu. Begitu aku pulang ke rumah, Bibi Ruth langsung menanyakan hal itu kepadaku, and yeah I told her that I had a little crush on her, that day.
"Bagaimana aku memberi taunya? Aku bahkan tak pernah bicara padanya, Bi,"
Bibi Ruth nampak terkejut mendengar jawabanku. Hey, memangnya apa yang salah?
"Kau ini bodoh?!" ucapnya dengan nada yang terdengar sebal. "Kau masih bertingkah seperti orang bisu sampai detik ini? Kau ini gila?! Kau bisa kehilangan cintamu, Calum."
"I know," jawabku apa adanya. Karena jujur saja, aku benar-benar tak tau lagi apa yang harus ku lakukan agar aku bisa mengucapkan kata perpisahan dan juga perasaanku padanya. Sifat pengecutku masih saja mengontrol egoku. Oleh karena itulah, aku berniat untuk tak mengucapkan kata perpisahan padanya.
"Tell her," ucap Bibi Ruth tegas.
"What?"
"Kau harus memberi taunya Calum. She loves you. Aku bisa melihat kedua mata kalian yang saling mencintai satu sama lain. And it will be bad if you lose her. I know that you two are belong to each other."
Aku terdiam. Hati kecilku menyetujui perintah Bibi Ruth itu, namun lagi-lagi egoku berkata kalau semua itu akan dirasa percuma. Aku justru tak ingin pergi dan memilih untuk tetap tinggal kalau aku bertemu dengannya. Apa ia akan mencariku kalau aku pergi begitu saja? Bagaimana persaannya nanti jika ia tau kalau aku benar-benar pergi untuk waktu yang cukup lama dan itu bukanlah dariku. Apa itu adil untuknya? I mean, I know she deserves to know it, but my ego said, no. Because my ego knows, the most painful things in this world is seeing your love's tears are falling just because of you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words // c.h [AU]
Fanfiction-Book 2 of Silent's Hood- Pertemuan singkat itu mengajarkan ku tentang kehidupan, kebahagian, dan juga cinta dalam kepedihan. Ia adalah gadis super cerewet yang tak pernah ku temui sebelumnya. Ia adalah satu-satunya gadis yang bisa menerima kekurang...