Suara kokok ayam jago membangunkan Linda pagi ini. Perasaan tidak enak menyerang dadanya dan kemudian dia ingat akan kemarahannya yang dia pendam atas kedua orangtuanya. Secara sepihak mereka meninggalkannya di rumah tua ini bersama neneknya, tanpa dia bisa membantah sepatah kata pun.
Seolah Linda bisa membantah ibunya saja.
"Kamu kan yang nggak kerja. Adi harus kerja, Li. Kau mau ngapain di rumah terus? Ini juga demi kebaikan kamu!"
Linda mendengus. Entah sejak kapan dia hanya bisa mengatakan, "Iya" dan "Terserah Mama saja" tanpa bisa mengatakan tidak.
Gadis berambut sebahu itu mendesah pelan, kemudian dia memandang sekelilingnya.
Ini benar-benar rumah yang sudah tua.
Lantainya saja masih berupa ubin berwarna abu-abu yang sudah menjadi mengilap karena berpuluh-puluh tahun tergosok langkah kaki penghuninya. Kamar yang ditempati Linda pun ranjangnya terbuat dari besi yang dicat hijau. Catnya sudah banyak yang terkelupas sampai menunjukkan kerangka besinya yang berwarna cokelat.
Seperti darah, pikiran Linda membisikkan sesuatu di kepalanya dan itu membuatnya bergidik. Gadis itu menarik tubuhnya hingga duduk di kasur pegas yang ditumpangkan di atas kerangka ranjang yang kebesaran
Gadis itu menghela napas, mengembuskannya perlahan, kemudian mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari siapa pun. Memangnya siapa yang akan mengiriminya pesan? Sejak pulang dari Singapura tiga tahun yang lalu, dia tidak punya teman di Indonesia.
Setelah mematikan layar ponselnya, gadis itu turun dari tempat tidur, kemudian membuka jendela kamarnya. Jendela itu pun terkesan kuno dengan kaca yang tidak rata. Kemarin, ayahnya berkata bahwa kaca yang tidak rata menandakan bahwa kaca itu buatan tangan, bukan pabrik, yang artinya sudah tua. Suara berderak ringan terdengar saat Linda mendorong jendela yang menghadap ke jalan depan rumah tersebut.
Kelihatannya semalam hujan deras. Halaman rumah neneknya terlihat basah, bahkan daun-daun pohon mangga di halaman depan masih meneteskan air. Aspal jalan juga terlihat masih basah.
Sepi sekali. Yah, paling tidak dia tidak perlu mendengarkan omelan ibunya, atau kata-kata songong adiknya.
Dengan satu desahan pendek, Linda membuka semua jendela kamar, membiarkan angin pagi dan matahari pagi menerobos masuk, menggantikan udara yang pengap.
Kemudian dia turun ke lantai satu di mana neneknya sudah duduk-duduk di teras, tampak begitu bahagia dengan buku di pangkuannya.
"Oma?" Linda menyapa. "Oma mau Linda buatin kopi?"
Neneknya menoleh dengan perlahan, kemudian tersenyum simpul, memandang dirinya.
Terlepas dari keputusan sepihak orangtuanya, Linda bisa saja menyukai tempat ini, dan merasa berguna di sini untuk merawat neneknya yang sudah tua dan mulai tidak bisa berbuat banyak ini. Namun, bukan itu yang dia rasakan. Dia merasa khawatir malah akan membunuh neneknya yang sudah renta ini tanpa sengaja.
"Oma mau sarapan?" Linda duduk di kursi sebelah neneknya.
"Nanti aja. Oma masih mau baca buku." Kemudian omanya mengelus wajah Linda dan menepuk pipi Linda pelan. Linda melirik buku yang ada di pangkuan wanita tua berkebaya itu, dan mendapati buku Grimm bersaudara versi bahasa Belanda.
Kakek buyut Linda, ayah omanya, adalah orang Belanda. Mungkin karena itulah Linda memiliki mata berwarna cokelat terang, nyaris abu-abu.
"Ya udah, tapi jangan kelamaan di luar ya, Oma. Masuk angin lho, entar."
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Glass Shattered (Completed)
FantasyLinda selalu menuruti keinginan orangtuanya. Bahkan kali ini pun, dia dipaksa tinggal di rumah Oma Lusi, neneknya, di sebuah kota kecil di Jawa Timur, mengabaikan kenyataan bahwa Linda sudah menderita depresi. Ibunya memaksa gadis itu untuk merawat...