Linda sudah meminta agar Bayu tidak mengantarnya. Dia bisa pergi sendiri, tapi kemudian gadis itu menyadari sesuatu. Dia tidak bisa menghilang begitu saja dan muncul di tempat lain. Dia juga tidak bisa menyetir mobil, apalagi meminta tumpangan pada orang lain. Akhirnya gadis itu menyerah.
Jadi, di sinilah mereka berdua malam hari keesokan harinya. Setelah mengendarai mobil dan naik ke pesawat, siang harinya, mereka sekarang tiba di depan rumah Linda.
Kalau memang tiga tahun sudah berlalu, Linda tidak melihat adanya perubahan dari rumahnya. Semuanya masih sama. Atapnya masih berwarna merah, pintu depannya masih berwarna putih, dan mobil sedan Honda milik ibunya juga masih berwarna hitam mengilat, diparkir di samping rumah. Lampu-lampu perumahan sudah dinyalakan dan dari dalam rumah-rumah yang berjajar rapi itu kadang terdengar suara teriakan anak-anak yang sedang bersenda-gurau, dan orangtua mereka yang menyuruh mereka untuk tidur.
Linda tidak yakin apa yang ingin dia lihat, apa yang menjadi ganjalan hatinya, tapi dia ingin bertemu dengan ibunya, bertanya apakah ada setitik pun rasa penyesalan atas kematian Linda. Bukan berarti gadis itu menyalahkan ibunya atas kematiannya, karena memang dia mengalami kecelakaan dengan ayahnya. Tidak ada yang bisa menghindari kecelakaan, kan?
"Kutunggu di luar," ujar Bayu. Matanya masih memandang rumah Linda. "Aku tidak mungkin masuk ke rumahmu." Pemuda itu menyengir.
Linda tersenyum lemah. Kemudian gadis itu mendesah panjang. "Menurutmu apa yang akan aku lihat?"
Bayu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Mungkin kamu nggak bakal lihat apa-apa. Mungkin kamu hanya merindukan mereka dan setelah melihat mereka, kamu akan bebas untuk pergi ke mana pun yang kamu mau."
"Mungkin... aku akan histeris melihat Mama," lanjut Linda tidak yakin. Mungkin aku akan tenggelam lagi dalam depresiku saat melihatnya.
"Mungkin dia menyesal karena sudah memperlakukanmu dengan salah. Seharusnya dia mengajakmu ke dokter."
Linda meringis. Dia sudah menceritakan semua masalahnya pada Bayu, dan rasanya aneh sekali, karena pemuda itu terlihat lebih mengerti tentang dirinya daripada yang Linda kira. Yah... mereka pernah berpacaran tiga tahun yang lalu. Tidak heran. Tapi tetap saja, rasanya aneh.
"Oke," ujar Linda akhirnya membulatkan tekad. Kemudian dia melangkahkan kakinya. "Sampai nanti."
Dengan gontai, gadis itu berjalan menembus pintu dan dia disambut oleh ruangan yang sangat familier. Sofanya masih sama. Televisinya juga masih sama. Tatanan ruangannya masih sama, masih bersih dan tanpa cela. Catnya yang putih pun tampak tidak ternoda sama sekali, khas ibunya yang perfeksionis.
Linda menuju ke ruang makan, karena dia mendengar suara aktivitas di dapur. Piring di atas meja hanya ada satu. Detik berikutnya, ibunya keluar dari dapur, tampak membawa senampan nasi dan lauk yang baru saja dipanaskan.
Linda terenyak. Ibunya tampak sudah tua. Keriput di wajahnya bertambah dan dia terlihat sedikit lebih gemuk daripada tiga tahun yang lalu. Sorot matanya masih tajam, penuh perhitungan dan perencanaan, seolah masa depan tidak membuatnya takut karena dia sudah membuat rencana penuh sampai sepuluh tahun ke depan.
Dengan sigap, wanita itu meletakkan nampannya di atas meja, kemudian mulai menata meja makan. Kenapa ibunya hanya menyiapkan untuk satu orang? Ke mana Adi dan Papa? tanya Linda dalam hatinya.
Ibunya tampak merenung menatap makanan di hadapannya. Tangannya dia tangkupkan dan digunakan untuk menutupi mulutnya. Wanita itu sama sekali tidak berkedip menatap nasi yang mengepul dalam kesendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Glass Shattered (Completed)
FantasyLinda selalu menuruti keinginan orangtuanya. Bahkan kali ini pun, dia dipaksa tinggal di rumah Oma Lusi, neneknya, di sebuah kota kecil di Jawa Timur, mengabaikan kenyataan bahwa Linda sudah menderita depresi. Ibunya memaksa gadis itu untuk merawat...