Bab 2

1.1K 94 21
                                    


Linda mendengar suara neneknya dan Suster Lastri di ruang makan di bawah, mereka pasti sedang makan malam. Neneknya sudah berteriak tadi, meminta Linda untuk turun dan ikut makan bersama mereka, tapi gadis itu menolak.

"Aku makan nanti!" teriaknya, kemudian keluar kamar dan mengatakan kepada neneknya bahwa dia sedang menelepon orangtuanya. Neneknya menitip salam untuk ayahnya, dan mengatakan akan menyisakan makan malam di atas meja.

Tentu saja Linda berbohong mengenai telepon. Sedari tadi, gadis itu hanya mengutak-atik ponselnya, mengecek facebook seratus kali, twitter seribu kali, dan instagram seribu satu kali. Tidak ada yang menarik, dia hanya menginginkan kesibukan. Mengecek sosial media menyediakan kesibukan baginya, menyediakan sebuah hubungan yang bisa dia kendalikan lewat jari-jarinya.

Gadis itu membiarkan lampu kamarnya padam, hanya seberkas sinar lampu jalan yang menorot melalui jendela kaca yang memberikan penerangan di kamarnya.

Gadis itu mendesah saat matanya menatap sebuah foto di Instagram, seorang temannya berkunjung ke universitas mereka di Singapura.

Bukan keinginan Linda untuk bersekolah di Singapura. Apalagi mengambil jurusan IT. Dia sebenarnya ingin mengambil jurusan sastra Inggris. Dia ingin menjadi penulis, atau penerjemah. Tapi, "Kau mau makan kertas?" adalah kata-kata ibunya saat itu, dan itu sudah cukup bagi Linda untuk bungkam.

Apa seharusnya waktu itu dia menentang ibunya?

Seandainya waktu itu dia menentang ibunya, bagaimana nasibnya sekarang?

Apa dia akan menjadi seorang gadis ceria seperti temannya itu, mengunjungi universitas dengan senyum lebar dan penuh dengan kebanggaan?

Di captionnya tertulis: Terima kasih sudah membimbingku!

Linda tidak merasakan rasa terima kasih. Dia merasa tertekan di universitas. Setiap tugas yang diberikan dosen terasa begitu berat dan begitu membebaninya, sampai dia harus rela mencari contekan dari sana-sini, menggabungkan hasil dari teman-temannya menjadi satu hasil yang baru, tambal sulam, tapi diterima oleh sang dosen. Nilai C lebih baik daripada D.

Bahkan dia melanjutkan ke S2, bukan karena dia masih mau belajar, tapi hanya untuk menunda keharusan baginya untuk bekerja. Dia tidak ingin bekerja. Mau bekerja apa? Teknisi?

Seandainya hidup bisa berhenti begitu saja.... Tidak sekali ini Linda membayangkan dirinya terbang ke awan-awan dan meninggalkan ini semua di belakangnya. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyibak lengan panjang kausnya, menggaruk pergelangan tangannya. Sebuah jaringan parut di sana masih sering terasa gatal.

Saat Linda mendesahkan napasnya lagi, suasana rumah sudah sepi. Suara denting piring beradu dengan sendok sudah tidak terdengar. Bahkan suara air dari tempat cuci piring juga sudah berhenti.

Linda memutuskan untuk keluar kamar, paling tidak mengisi perutnya dengan roti atau apa pun yang tersisa di meja makan. Tadi neneknya berkata akan menyisakan sesuatu.

Tepat saat dia menuruni tangga kayu, terdengar suara ketuk di pintu depan, membuat gadis itu mengerenyitkan keningnya. Lampu rumah sudah padam semuanya, menyisakan lampu-lampu kecil sebagai penerangan seadanya. Neneknya dan Suster Lastri pasti sudah beristirahat sekarang.

Mendesah, Linda berjalan ke pintu depan dan menyibakkan tirai jendela untuk melihat siapa yang bertamu. Ternyata Bayu. Gadis itu mendesah lagi, kemudian membuka pintu hanya untuk bersopan santun.

"Malam," sapa Bayu sambil menyengir. Tangan kanannya mengangkat sebuah termos. "Wedang jahe. Sama gorengan."

Astaga... apa sih maunya?

When the Glass Shattered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang