Bab 3

938 80 20
                                    

Linda tidak menyangka dia bisa tertidur pulas kemarin. Entah kapan terakhir dia bisa tertidur senyenyak itu. Sejak pulang dari Singapura, dia hanya bisa bergerak-gerak gelisah di atas ranjangnya. Bukannya segar, pagi hari saat dia bangun, dia malah merasakan kelelahan yang luar biasa. Belum lagi kelopak matanya yang juga terasa berat sepanjang hari. Karena itulah, Linda tidak bisa memaksa tubuhnya untuk melakukan kegiatan selain duduk di atas sofa dan memainkan ponselnya.

Mungkin itulah yang membuat mamanya sangat frustasi karena anak gadis sulungnya hanya bisa mengurung diri di kamar... tidak melakukan apa-apa dan hanya duduk termangu.

Pernah suatu hari, sebulan sesudah dia pulang dari Singapura, mamanya itu sudah sangat sebal hingga wanita itu mendobrak pintu kamar Linda.

"Linda, buka atau mama dobrak pintunya!" Dan wanita itu melakukannya. Adiknya, Adi, yang menghancurkan selot pintu agar mereka berdua bisa menjajah teritorinya.

Mereka masuk, dan mendapati Linda hanya duduk di atas sofa tunggal, meringkuk pasrah dan menatap mereka dengan mata memerah karena kurang tidur. Botol obat anti depresan ada di atas meja, terbuka dan kosong.

"Bangun!" Ibunya membentak. Linda hanya bisa menatap ibunya itu. "Li, kamu itu kenapa sih? Bisa nggak sih jadi orang yang kuat? Memang pernah ya mama mendidik anak-anak mama untuk jadi orang lembek begini?"

Adi mendengus. Masih ada martil di tangannya. Pemuda itu memain-mainkan martil itu. "Kamu ini caper banget sih jadi orang, Kak" gerutunya. Ibunya memandang pemuda itu dan menggeleng tidak setuju. Kemudian Adi keluar sambil mendecak sebal.

"Li, sekarang kamu mandi, deh. Terus jalan-jalan keluar. Mama nggak bisa nemenin kamu karena masih banyak yang harus mama lakukan. Tapi kamu jalan keluar kek, cari temen kek, ke gym kek. Apa pun asal nggak meringkuk di dalam kamar begini."

Hening. Begitu hening sampai Linda bisa mendengar napasnya sendiri.

Kemudian, dengan suara lirih Linda memberanikan dirinya membuat satu permintaan. "Ma," ujarnya, "Linda ke dokter, ya?"

"Enggak," tukas ibunya untuk yang kesekian kalinya terhadap permintaan yang sama. "Kamu mau minta beribu kali pun jawabannya adalah enggak. Kita punya Tuhan, Li. Kita berdoa, bukannya...." Ibunya melirik botol obat dan menggerakkan tangannya ke obat-obatan itu seolah mereka adalah sampah, "Tergantung pada narkoba begitu."

"Tapi Linda lebih baik waktu di Singapura, Ma." Gadis itu masih mencoba membela diri. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, dia tahu dia tidak mungkin bisa menang melawan ibunya. "Mungkin aku bisa balik—"

"Terus apa? Mau hambur-hamburin duit di Singapura? Nggak kerja, dan cuma di rumah nurutin kata dokter, yang katanya kamu sakit?"

Linda terdiam. Dia sudah kalah. Bahkan sebelum dia mengajukan permintaan itu, dia tahu dia sudah kalah.

Ibunya mendesah dan mendekati Linda. Kemudian wanita itu duduk di tangan sofa, mengelus kepala Linda dengan penuh kasih sayang. Namun gadis itu tidak bisa merasakan apa-apa. Apa hatinya sudah membusuk sekarang? Kasih sayang nol besar. "Kamu nggak sakit, sayang. Denger Mama. Kamu nggak sakit. Kamu sehat, kamu kuat. Ulangi terus kata-kata itu. Kalau kamu orang beriman, kan? Kamu harus percaya."

Linda mengangguk lemah. Percuma bicara dengan mamanya.

"Ikuti kata-kata mama, 'aku kuat'."

Linda terdiam. Mamanya menyenggol bahu Linda. "Ayo!"

"Aku kuat...," ujarnya lemah.

"Aku sehat!" pekik ibunya bersemangat.

"Aku sehat," beo Linda.

When the Glass Shattered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang