Bab 12

659 45 9
                                    

Hai teman-teman. Maaf banget ya sudah menelantarkan Linda dan Bayu. Sejak update terakhir, ada banyak kegiatan yang membuat saya tidak fokus dengan wattpad.

Sekilas update, New York, New York yang dipost oleh Penerbit Haru di akunnya sudah lengkap. Jadi teman-teman yang penasaran dan ingin membaca sampai habis sekaligus, bisa langsung ke sana.

Update kedua adalah tentang Then I Hate You So, novel pertama saya, sekarang ada di wattpad juga lho. Kabarnya akan dipost secara penuh oleh Penerbit Haru. Jadi, silakan ke sana juga.

Nah, nah... tanpa basa-basi lagi, silakan bagian terakhir dari kisah Bayu dan Linda. Ceritanya akan sedikit menggantung, tapi saya harap, teman-teman suka. Sampai jumpa di lain cerita lagi yaa.


---------------


Apartemen itu sangat sepi. Hari sudah malam, jadi lumrah kalau tidak ada orang yang keluar masuk. Bayu membantunya pergi sampai ke apartemen itu, dan Linda sendirian menaiki tangga satu persatu untuk mengecek setiap lantai, setiap unit sampai akhirnya dia menemukan unit ayahnya di lantai lima. Ayahnya sedang tertidur, lampu unit dimatikan seluruhnya, kursi roda bertengger di sebelah kasur, menanti untuk digunakan esok harinya. Sebuah laptop menyala di meja kerja, buku bahasa inggris terbuka lebar di hadapannya, kamus pun terbuka di sebelah kanan, di dekat mouse.

Ayahnya penerjemah?

Linda mendesah panjang. Dia tidak bisa membangunkan ayahnya. Dia tidak bisa bercakap-cakap dengannya, tapi bagi dia ini sudah cukup. Ayahnya baik-baik saja.

Namun, saat gadis itu hendak beranjak keluar, dan berpikir apa yang harus dia lakukan setelah ini, ayahnya tiba-tiba mengigau.

"Linda?"

Sontak, Linda menoleh lagi ke belakang. Ayahnya masih memejamkan matanya, bergerak-gerak gelisah di atas ranjangnya. "Linda, kan?"

Mimpi?

Linda memperhatikan sekelilingnya dan kemudian memberanikan diri untuk berjalan mendekati ayahnya, dan berkata ragu, "Ayah?"

"Linda!"

Ayahnya menggerak-gerakkan tangannya, tubuhnya berguling-guling gelisah di atas kasur, seperti ingin berlari mendekati Linda dan memeluknya, jadi itulah yang gadis itu lakukan saat sadar dia bisa bercakap dengan ayahnya meskipun melalui mimpi. Gadis itu berderap dan kemudian memeluk ayahnya erat-erat.

"Maafkan Ayah. Maafkan Ayah yang tidak berhati-hati membawa mobil. Maaf."

Linda tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggelengkan kepalanya, berharap supaya ayahnya tahu bahwa dia tidak menyalahkan siapa pun perihal kematiannya.

Mereka berpelukan beberapa saat, dan setelah puas menangis dan melepas rindu, Linda melepasnya, dan duduk di kursi kerja ayahnya, memandang pria itu dari kejauhan.

"Ayah baik-baik saja? Aku khawatir dengan keadaan Ayah, jadi aku ke sini...." bisiknya lirih.

"Baik. Sejak bercerai dengan ibumu, ayah jauh lebih baik. Ayah jauh dari tekanan dan ayah bisa mengerjakan apa yang sedari dulu ingin ayah kerjakan; tenggelam dalam novel dan menerjemahkannya."

"Aku tidak tahu ayah suka membaca."

Ayahnya terkekeh dalam tidurnya. "Tidak ada waktu. Setiap hari di rumah adalah bekerja dan bekerja. Di kantor pun ayah sudah lelah. Mana bisa ayah memiliki tenaga untuk membaca lagi?"

"Adi?" Linda menanyakan adiknya.

Ayahnya nyengir. "Jangna bilang-bilang ibumu. Dia ada di unit di depan. Sesekali kalau tidak sibuk dia membantu Ayah berjalan-jalan di taman yang ada di bawah, juga membelikan lauk. Meskipun tidak ada dalam satu rumah, tapi Ayah sudah puas. Toh berada dalam satu rumah mungkin bukan ide yang baik setelah kekacauan di rumah dulu. Kami sama-sama butuh ruang untuk menenangkan diri."

Linda meringis. Dia merasa lebih lega. Ayahnya bisa melakukan ini. Dia bisa bertahan. Adiknya juga.

"Maafkan ayah ya," ujar pria itu lagi tak bosan-bosannya.

Linda menggeleng, "Ayah, dengar. Aku sama sekali tidak menyalahkan ayah. Itu kecelakaan. Tidak ada yang bisa mencegah Yang Kuasa untuk mengambil miliknya. Sebentar lagi aku akan kembali kepadaNya. Jadi, Ayah jangan menyesali apa pun. Aku akan merindukan Ayah, tapi... jangan pernah merasa bersalah. Ayah tidak bersalah."

Pria itu meneteskan air matany alagi dalam diam, dan kemudian tertidur tenang kembali. Linda menghela napas panjang, kemudian mengecup kening ayahnya sebelum beranjak pergi.

*

"Apa sekarang?" Linda sudah turun dan duduk di bawah lampu taman di kompleks apartemen. Bayu di sebelahnya.

"Surya akan datang menjemputmu. Membawamu ke tempat yang seharusnya."

Tempat yang seharusnya, pikir Linda, entah di mana tempat itu. Apa dia akan menghilang begitu saja? Atau kesadarannya akan tiba-tiba berpindah dari alam ini ke suatu tempat yang tenang? Atau bahkan dia nanti akan ke neraka. Linda bergidik dengan pikirannya sendiri.

Pemuda itu menatap Linda dan nyengir. "Kau takut?"

Linda meringis terpaksa. "Aku tidak tahu akan ke mana, dan sama sekali tidak punya gambaran tentang dunia setelah kematian. Bahkan diriku yang sekarang adalah hantu pun masih terasa tidak nyata. Tentu saja aku takut."

Dan perpisahan denganmu adalah yang paling menakutkan, Linda ingin berkata seperti itu, tapi dia hanya memikirkannya. Dia tidak ingin memberikan harapan berlebih, sudah cukup Bayu menghadapi tahun demi tahun mengulangi adegan demi adegan yang sama tanpa bosan.

Dan sekarang...

"Perubahan rencana." Tiba-tiba Surya muncul entah dari mana. Rambutnya masih acak-acakan. Matanya intens, dan kantung matanya semakin menghitam (itu kalau Pencabut Nyawa bisa terlihat capek). Bahkan Lana yang ada di sebelahnya sudah kehilangan senyumnya. Pakaian mereka berdua benar-benar kacau balau.

Bayu langsung terlonjak, seperti baru saja menyadari bahwa ada yang salah. "Ada apa."

"Pembunuhan massal," geram Surya. Dan itu sudah cukup untuk membuat suasana tiba-tiba hening. "Pencabut Nyawa dibunuh satu per satu. Tampaknya ada orang yang ingin membunuh Maut. Tanpa Maut, tidak akan ada orang yang mati. Semua orang akan abadi."

"Dan apa buruknya?" tanya Linda tak mengerti.

"Serius kamu bertanya seperti itu?" Surya tampaknya sudah hilang kesabaran. "Bagi orang yang sehat, itu adalah kabar gembira. Tapi bagi orang yang sedang sakit... itu malapetaka. Tidak ada kematian, mereka akan menderita selamanya, dalam kekekalan. Orang-orang akan menjadi tua tanpa bisa meninggal. Orang-orang tua akan bergelimpangan di atas kasur, lemah, tak berdaya, tapi tak bisa beristirahat.

"Kamu." Surya menuding Linda. "Maaf, kamu masih belum bisa melanjutkan perjalananmu ke alam sana. Untuk sementara kamu juga akan membantu kami sebagai Pencabut Nyawa. Kita harus memburu orang-orang ini. Pelajari apa yang harus kau pelajari. Aku dan Bayu akan membantumu."

Linda bertukar pandang dengan Bayu. Bayu meringis. Entah harus bahagia atau harus menyayangkan hal ini, tapi Linda bisa menikmati sedetik lebih lama di sebelah Bayu, membayar waktu yang sudah dia sia-siakan dengan kehilangan ingatan.

"Ayo!" Surya tiba-tiba memegang sebuah sabit raksasa di tangan kanannya dan dia menyabet sesuatu di belakang Linda. Linda merasakan ada sesuatu dari dirinya yang terputus dan membuatnya merasa sangat ringan. Sebuah sayap kecil muncul di punggungnya, tapi sayap itu bukan dari bulu-bulu halus seperti milik Lana. Sayap itu berwarna hitam legam, seperti terbuat dari asap kawah gunung berapi yang paling pekat.

Linda sempat melirik Surya yang keningnya berkerut, tapi gadis itu tidak memedulikanya.

"Tirta sedang mengejar seseorang di daerah Jakarta Selatan. Kita harus membantunya. Bayu, kamu pulang ke rumah. Kabari Indra untuk membuat rapat darurat. Aku tidak akan membiarkan orang ini lolos begitu saja setelah membunuh Wisnu."

"Wisnu—"

"Sekarang!"

Segera saja Bayu memelesat, mengambil mobilnya. Surya dan Lana mengapung di udara. Linda harus mempelajari dengan cepat untuk mengikuti mereka berdua, menyambut langit malam dengan dada berdebar-debar.

Ini, sangat berbeda dengan apa yang tadinya dia harapkan.

Tapi, tampaknya hidupnya akan jadi sedikit lebih menarik.

When the Glass Shattered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang