Bab 10

588 66 6
                                    

Berhubung lagi nggak bisa tidur, sekalian aja update. Maaf kalau ada typo, karena ini tanpa edit sama sekali. Mungkin agak absurd atau apa, tapi semoga tetap suka!

======

Rumah Bayu benar-benar berantakan sekarang. Meja makannya dijungkirbalikkan, kursi sofanya amburadul, bahkan kainnya banyak yang robek.

Bayu mengambil dua buah kursi makan, dan membetulkan letaknya agar mereka berdua bisa duduk di sana. Dan akhirnya Linda berhadapan dengan Bayu. Pemuda itu menatapnya, dan kemudian mendesah panjang.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu berbasa-basi.

Linda menyengir dan menatap Bayu, kemudian mengangkat bahunya. "Kacau. Maksudku, aku ke sini karena aku depresi, aku mengurung diriku di dalam kamar, bermain ponsel seharian, dan sekarang...."

Bayu mengangkat alisnya, dan Linda tidak yakin apakah dia membaik atau malah semakin buruk. Tidak ada seminggu dia di tempat ini, tapi dia merasa sudah keluar dari kamar daripada sebulan dia di rumah bersama kedua orangtuanya.

"Itu yang akan terjadi tiga tahun yang lalu," kata Bayu. "Kamu mulai keluar kamar, mulai tidur dengan teratur, makan dengan teratur, berat badanmu naik, dan... kamu bahagia."

"Tapi kemudian aku akan mengulangi semuanya dari awal?" Linda masih tampak tidak mengerti dengan ini semua. Kenapa dia bisa kehilangan ingatannya, dan mengulang-ulang kedatangannya ke rumah Oma Lusi bertahun-tahun?

"Aku... aku nggak tahu bagaimana cara menjelaskannya." Bayu berdeham. "Pertama, kamu perlu tahu bahwa aku bukan manusia biasa."

Jelas sekali Bayu bukan manusia biasa. Dia bisa berkomunikasi dengan pencabut nyawa!

"Oke," gumam Linda.

"Aku bisa berbicara dengan arwah, dan berinteraksi, bahkan aku bisa memegang para arwah kalau aku mau, sepanjang arwah-arwah itu mengizinkan."

Linda mengerutkan keningnya. Apa ini ada hubungannya dengan ibu Bayu? Tapi wanita itu sudah diantar pergi dari rumah ini, menuju ke tempat dia seharusnya pergi. Lalu, apa hubungannya lagi dengan Linda.

"Linda... kamu sudah meninggal."

Waktu serasa berhenti seketika. Bahkan suara jangkrik di luar sana terasa memekakkan telinga. Linda memelotot menatap Bayu, bersiap untuk tertawa atau mengembuskan napas lega saat Bayu mengatakan bahwa dia berbohong.

"Tapi aku punya ponsel, aku bisa menghubungi keluargaku...." Linda sedikit berusaha untuk tidak menerima kenyataan itu.

"Kamu melihat apa yang ingin kamu lihat. Mana ponselmu?"

"ketinggalan di kamar," ujar Linda.

"Ada di kantongmu."

"Masa?" Spontan Linda merogoh kantongnya, berharap ponselnya ada di sana, dan ternyata benar.

"Letakkan di lantai," kata Bayu. "Lihat baik-baik."

Linda memperhatikan ponselnya, ragu-ragu. Tapi kemudian ponsel itu berangsur menghilang.

"Kamu hanya melihatnya di kepalamu, kemudian menjadikannya nyata. Semua hantu seperti itu. Mereka melihat apa yang ingin mereka lihat, mendengar apa yang ingin kalian dengar. Dan semua itu tampak nyata bagi kalian."

Kemudian kenyataan itu menghantam Linda, demikian jelas. Selama ini hanya Oma Lusi yang berbicara langsung kepadanya. Suster Lastri, entah wanita itu berbicara kepada siapa, mungkin hanya ingin membuat Oma Lusi senang karena cucunya ada untuk menemaninya.

Apa dia harus lega? Harus terkejut? Menangis? Atau apa?

"Oh," dan akhirnya hanya itulah yang dikatakan gadis itu sambil mengembuskan napas panjang, sadar bahwa dia sempat menahan napasnya.

"Kejadiannya tiga tahun yang lalu. Kecelakaan waktu ayahmu membawamu ke rumah Oma Lusi."

Itu bukan mimpi... rasa sakit dan gerak lambat mobilnya yang menabrak mobil lain itu bukan mimpi.

"Awalnya aku tidak tahu kau sudah meninggal. Ini karena semua kemampuan anehku ini. Aku bisa memegangmu, berinteraksi denganmu, berbicara denganmu. Kau muncul begitu saja di teras rumah Oma Lusi, seperti masih hidup, seperti nyata." Pemuda itu melanjutkan. "Aku baru sadar setelah beberapa minggu. Siang itu kamu ingin meminjam panci karena panci Oma Lusi rusak. Kamu berjalan ke rumah, bayanganmu tidak ada.

"Kemudian kamu tahu cerita selanjutnya. Aku tidak mau mengulanginya. Setiap tahun kamu akan menghilang, kemudian hari berikutnya muncul lagi di teras rumah Oma Lusi seolah kamu baru saja datang."

Alih-alih menyesal atau kaget, Linda lebih merasa lega. Entah kenapa. Mungkin karena dia tidak harus berinteraksi lagi dengan keluarganya. Karena itu semua sudah selesai, karena dia tidak lagi memikul tanggung jawab besar dari ibunya. Karena dia tidak perlu lagi menjawab setiap harapan-harapan yang sebesar gunung yang ada di hadapannya.

Tapi bukankah itu aneh? Kalau memang dia merasa lega, kenapa dia masih ada di sini? Bukankah seharusnya sudah ada pencabut nyawa yang membawanya pergi?

"Selama ini aku menginginkan untuk mati," gumam Linda lirih.

"Dan harapanmu terkabul."

"Seharusnya aku sudah pergi dari sini."

Bayu mengangguk. Kemudian dia menggigit bibirnya, "Ingat aku pernah bercerita jumlah pencabut nyawa berkurang drastis akhir-akhir ini? Ada sesuatu yang menyerang para pencabut nyawa. Mereka bukannya tidak bisa dibunuh. Mereka bisa mati, dan ada pembunuhan berantai besar-besaran akhir-akhir ini, menyebabkan berkurangnya populasi mereka."

Linda mengangguk.

"Para pencabut nyawa yang tersisa harus membagi wilayah mereka dan harus bergantian mencabut nyawa-nyawa yang terlepas dari raga. Tapi kadang mereka terlambat. Seperti kamu. Setidaknya untuk tahun pertamamu. Tahun berikutnya, aku menyembunyikanmu, karena Surya sudah sempat mengendus-ngendus tempat ini, tapi dia kemudian pergi lagi." Pemuda itu nyengir jail, tapi matanya menatap sedih, seolah sebentar lagi mereka akan berpisah. "Tapi tahun ini Surya menemukanmu. Cowok itu, sialan. Aku nggak pernah bisa mengelabuinya."

"Seharusnya aku pergi dengan mereka tadi," ujar Linda mengerjapkan matanya penuh pemahaman.

"Seharusnya kamu pergi dengan mereka," ujar Bayu membeo.

"Tapi?"

"Tapi, masih ada yang mengikatmu," Bayu menunjuk rantai di kaki Linda yang selama ini tidak gadis itu sadar. "Surya bisa saja memutuskan rantai itu, tapi... akan lebih mudah kalau kamu sendiri yang melepaskannya."

"Seperti ibumu?" Linda teringat bagaimana Surya dengan begitu mudahnya memotong ikatan sang ibu dengan dunia ini karena ikatan itu hanya tinggal seperti seutas benang.

"Seperti ibuku."

Tapi masalahnya, rantai ini berujung di mana?

Linda menggerakkan kakinya dan kali ini rantai itu bergemerincing.

Apa yang menahannya?

Masalahnya selama hidup?

Seketika Linda mengangkat wajahnya penuh pemahaman.

Keluarganya. Dia harus melihat keluarganya sekali lagi, memastikan keadaan mereka tanpa dirinya.

Ibunya, adiknya, juga ayahnya....


Bersambung....


Woohoo!

Mungkin tinggal 2 bab terakhir, dan mungkin kalian tahu bagaimana ending untuk kisah ini.

Untuk bab ini tidak akan ada vote, karena sudah pasti, Bayu akan mengantar Linda kepada keluarganya, melihat masalah apa yang ada di sana. Bab selanjutnya, bagaimana masing-masing keluarga Linda menghadapi kematian Linda?

When the Glass Shattered (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang