Pertama kalinya setelah beberapa bulan, otak Linda berputar terus tanpa bisa dihentikan. Hanya satu hal yang terus berkelebat dalam otaknya; bagaimana cara meminta maaf kepada Bayu.
Pemuda itu tadi langsung merosot ke tanah sambil memegangi selangkangannya. Neneknya yang melihat langsung terbahak-bahak nyaris tersedak dan Suster Lastri ingin membantu pemuda itu, tapi Bayu menolak dan memilih langsung pulang ke rumahnya sendiri setelah menyerahkan mangga sekantung plastik penuh kepada Suster Lastri, "Untuk makan siang nanti."
Sekarang Linda ada di ruang tamu neneknya, duduk di sofa dan ponsel ada di tangannya. Neneknya sudah kembali ke kamarnya untuk beristirahat tidur siang, sementara Suster Lastri berkutat di dapur untuk membuat makan siang.
Linda membuka buku telepon di ponselnya dan mencari nama Bayu. Jempolnya mengambang di udara, antara hendak menyentuh nama itu dan ingin mengurungkan niatnya.
Semenit kemudian, gadis itu masih belum bisa mengambil keputusan. Akhirnya dia dikejutkan oleh sebuah pesan masuk.
Dari ayahnya.
Linda mengerjap, dan dengan cepat membuka pesan itu, dan terenyak.
Maaf.
Hanya satu kata itu, dan rasanya sudah cukup untuk membuat perasaan-perasaan di dalam dadanya mulai membuncah lagi keluar, membuat dadanya sesak.
Setelah pertengkaran dengan ibunya waktu itu, ayahnya sempat mengunjungi Linda malam-malam di kamar. Ayahnya masih mengenakan kemeja, bahkan tas kerjaya masih dia tenteng.
"Ehem," dehamnya untuk menarik perhatian Linda. Linda yang hanya termangu menatap jendela kamar untuk memandang suasana di luar sana menoleh.
Ayahnya melepas satu kancing kemejanya dan meletakkan tas kerja di atas kasur. "Papa dengar kamu bertengkar sama Mama, ya?"
Linda tidak menjawab. Dia tidak merasa memulai pertengkaran apa pun. Dia bahkan tidak berbuat apa-apa. Dia hanya duduk dan meminta untuk pergi ke dokter, tapi ibunya yang tiba-tiba naik pitam dan marah. Sudah beberapa hari itu mereka tidak berbicara. Beberapa hari pertama, ibunya ke kamar hanya untuk mengantarkan makanan, kemudian pergi. Akhirnya akhir-akhir ini yang mengantarkan makanan adalah bibi pembantu.
"Mama memang orangnya keras," kata ayahnya sambil mengelus kepala Linda. Linda mengembuskan napas panjang. Dia tidak menjawab ayahnya. Apa lagi yang bisa dia katakan? Setelah ini ayahnya pasti akan meminta dirinya untuk mengerti sang ibu, untuk menoleransi kediktaktorannya, dan menuruti apa katanya.
"Sebaiknya kamu lakukan apa kata Mama, daripada mengundang masalah." Kalau punya tenaga, Linda sudah memutar bola matanya, seperti yang dulu selalu dia lakukan setiap kali ayahnya melontarkan nasihat yang itu-itu lagi.
Selama ini Linda mengikuti kata-kata ibunya, menurutinya hingga ke neraka ketujuh, tapi sekarang Linda tidak bisa lagi. Namun, jika tidak menuruti kata-kata ibunya, dia bisa apa? Keinginan saja sudah tidak punya.
Linda tidak menginginkan apa-apa saat ini. Tidak ada yang dia inginkan. Hanya ada kehampaan di dalam hatinya.
Dan sekarang, setelah Linda tidak ada di rumah, ayahnya mengirimkan pesan maaf, tanpa ada penjelasan apa-apa. Hanya sepatah kata maaf. Maaf karena apa? Karena tidak bisa membela Linda? Karena hanya bisa mengikuti aturan-aturan ibunya tanpa bisa mengutarakan pendapat?
Linda mendengus.
Itukah yang dia inginkan? Dibela? Mengutarakan pendapat?
Punya rencana untuk makan malam saja dulu selalu didebat oleh sang ibu. "Pizza? Kamu mau jadi apa kalau makan pizza? Makanan cepat saji itu nggak sehat! Mama sudah buat makanan empat sehat lima sempurna di rumah. Kamu pulang sekarang, dan makan malam di rumah. Nggak ada nongkrong-nongkrongan bareng temen. Tugas kamu adalah belajar demi masa depan, Linda! Contoh si Adi, dong. Nggak kayak kamu, main terus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Glass Shattered (Completed)
FantasyLinda selalu menuruti keinginan orangtuanya. Bahkan kali ini pun, dia dipaksa tinggal di rumah Oma Lusi, neneknya, di sebuah kota kecil di Jawa Timur, mengabaikan kenyataan bahwa Linda sudah menderita depresi. Ibunya memaksa gadis itu untuk merawat...