Sudah 20 jam aku terbaring di ranjang rumah sakit yang cukup berpengaruh di kota Banyuwangi ini. Dokter menyarankanku untuk mendapatkan beberapa pengobatan. Mungkin beberapa jam lagi aku harus pulang. Masih banyak tugas yang belum aku selesaikan. Bukannya tidak mementingkan kesehatan, toh semua biaya berobatku ini merupakan asuransi yang ditinggalkan kedua orangtuaku. Hanya saja aku tidak suka mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menghantamku jika aku bolos lebih dari sehari.
"Selamat pagi, Nona Linda. Sepuluh menit lagi Dokter Hadi akan datang memeriksamu." Sapa suster cantik yang sering membantuku ketika datang berobat. Ia menyuntikkan cairan serupa penenang atau mungkin anti inflamasi, ah entahlah, di antara keduanya. Setelah itu ia menyuruhku untuk segera menyantap sarapan yang telah disediakan.
Aku amati jarum infus yang berada di punggung tangan kiriku. Aku tersenyum sambil take a deep breath ketika mengingat alasan konyol yang membuatku harus terbaring di tempat ini. Dari kaca jendela aku lihat beberapa anak bermain bulu tangkis di taman samping Rumah Sakit Al-Huda ini. Membuatku teringat akan sosok sahabatku yang juga seorang atlet bulu tangkis. Beberapa waktu lalu ia sempat mengatakan sesuatu ketika aku menceritakan tentang Hesti dan Lutfi.
"Sudahlah, Lin. Lupakan!" ujarnya santai untuk menenangkanku.
"Siapa yang harus aku lupakan? Si cewek atau cowok?"
"Lupakan bahwa kau pernah menyukai lelaki itu." aku berharap ada sebuah jawaban yang akan membantuku mengatasi keraguan ini dari mulutnya. Namun, jawabannya hanya membuatku tersenyum kecil dengan mengangkat satu sudut bibirku.
Dadaku sakit-lagi. Bodoh! Kenapa aku memikirkan hal yang membuatku sedih? Padahal baru saja suster memberiku obat. Aku lepas infus yang melekat ini dan segera berlari menuju kamar mandi. Air mataku bergeming. Aku terluka lagi, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?
Tok .. tok ..
"Aku tahu kau ada di dalam. Keluarlah, masalah itu akan selesai ketika kau pulang nanti. Aku akan memeriksamu sekali lagi sebelum kau pulang." Suara Dokter Hadi menghentikanku meratapi kebodohan-kebodohan yang telah aku lakukan selama hidup ini.
Ya, Dokter Hadi paham benar dimana tempat persembunyianku. Hanya ada dua tempat untukku menangis, salah satunya di kamar mandi.
Aku segera keluar dari kamar mandi setelah mengusap air mataku dan menyiapkan wajah bahagia ketika bertemu Dokter Hadi dan suster Susan. Aku pun tak menghiraukan darah yang mengalir dari punggung tangan tempat infus melekat tadi. Aku tersenyum sembari keluar dari kamar mandi.
Akhirnya aku pulang juga. Kasur di kamarku mungkin sangat merindukan pemiliknya. Halaman kosku terllihat sedikit ramai. Aku amati apa yang sedang terjadi. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Itu mini truk yang biasa mengantarkan paket barang. Ah, aku iri dengan mereka yang mendapatkan paket barang rutin tiap bulan dari orangtuanya. Lantas aku? Ah, sudah-sudah. Aku harus menyingkirkan rasa iri ini. Aku harus bersyukur atas hidupku saat ini.
Benar perkiraanku tadi. Kasurku merindukan kedatangan pemiliknya. Ia sangat menggodaku untuk bebaring di atasnya. Aku tak kuasa. Aku langsung menghempaskan tubuhku di kasur spons itu. Rasanya damai dan bahagia.
Tok .. tok .. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku melangkah dengan tubuh gontai. Kubuka pintu perlahan. Sebuah kotak berwarna coklat berada di depan pintu. Paket untukku? Aku tidak merasa memesan apapun. Lagi pula hanya beberapa orang yang tahu dimana aku tinggal.
Aku ambil kotak tersebut dan membawanya masuk ke dalam kamar. Tak ada nama pengirimnya. Jangan-jangan ini perbuatan teroris? OMG! Aku langsung menaruh kotak tersebut ke lantai dan menjauhinya. Aku diamkan beberapa saat. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada bunyi bip-bip bom. Sepertinya itu bukan dari teroris. Jangan-jangan dari seseorang yang membenciku? Itu mungkin berisi tikus mati ataupun photo berdarah. Astaga! Aku duduk di kasur memikirkan apa isi sebenarnya. Berulangkali aku memikirkan isi kotak tersebut hingga kemungkinan-kemungkinan terburuknya.