1st Special Chapter

30 2 0
                                        

Maret 2018
"Bagaimana dok, hasilnya?"
"Nona Linda dinyatakan sembuh total." Raut wajah dengan kumis tipis itu tersenyum. Aku dan Dio yang saat itu menemaniku tersenyum bahagia.
Jalanan siang ini sangat ramai. Maklumlah, akhir pekan, hari yang paling ditunggu-tunggu para manusia yang selalu berkata sibuk. Di pusat kota akan ada sebuah pagelaran budaya malam ini. Rona semalam mengajakku untuk menghadiri acara tersebut. Awalnya aku hendak mengajak Dio, akan tetapi setelah aku pikir-pikir tak ada salahnya aku menerima ajakan Rona.
Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Aku ucapkan salam untuk seseorang di seberang sana. Tanpa jawaban salam, tanpa basa-basi, suara cacian seorang wanita menyambutku. Aku hanya menghela napas panjang. Dio segera menghentikan motornya.
"Kamu kenapa, Lin?" tanya Dio sembari menoleh ke arahku. Aku menggelengkan kepala dan melanjutkan mendengarkan ocehan wanita yang namanya pun aku tak tahu. Sepertinya ia semakin geram karena aku sedari tadi hanya diam dan sesekali berkata 'iya'. Wanita itu mulai lelah dan aku baru menyadari siapa yang dia maksud. Rona. Ya, Rona. Dia marah-marah kepadaku karena nanti malam Rona lebih memilih untuk melihat pagelaran bersamaku, bukan bersamanya.
Dio sudah menyangka hal ini akan terjadi. Memang salahku lebih memilih pergi bersama Rona daripada Dio. Aku memiliki alasan yang harusnya aku sendiri mengatakan bahwa diriku bodoh.
Lima menit sebelum waktu yang dijanjikan, Rona sudah menungguku dengan mobilnya. Aku segera menyelesaikan dandananku. Flat shoes ungu yang telah aku persiapkan sejak sore tadi sudah menungguku di depan pintu. Aku memang sengaja tidak memaki highheels ataupun wedges malam ini. Aku rasa terlalu indah jika disamakan dengan film-film yang menampilkan seorang gadis dengan kakinya yang lelah, kemudian sang lelaki akan menawarkan punggungnya untuk menggendong si gadis. Terlalu drama!
Aku berdiri di depan kaca sebelum keluar rumah. Memastikan apa yang aku kenakan sudah benar. Aku periksa satu per satu dari atas. Rambutku sudah tertata rapi dengan bandana yang mempermanis. Mini dress berwarna baby pink selutut ini sudah membuatku cukup cantik malam ini. Sebagaimana halnya wanita pada umumnya yang membawa tas dalam setiap moment, aku pun demikian. Aku segera keluar rumah setelah menyemprotkan parfum dengan aroma fantasi kesukaanku.
Dio? Kenapa dia ada di sini? Ah, bukankan sudah kubilang untuk tak menggangguku sekali ini saja-malam ini. Aku ingin menyelesaikan beberapa hal dengan Rona. Aku sedikit mengomel dalam hati dan menampakkan wajah sinis padanya. Ia mengerti apa yang aku maksud. Dio segera pergi bersama mobilnya. Tunggu, ada seorang gadis di dalam mobil itu. Sepertinya aku belum pernah melihatnya. Mungkin itu temannya yang akan dijadikan pacar malam ini. Hihi
Rona membukakan pintu depan untukku. Aku tersenyum. Rona menatapku sebentar ketika sudah duduk di kursi kemudi. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu yang pada akhirnya diurungkan. Terdengar dari hembusan napasnya yang terasa berat. Kemudian ia hanya menanyai kabarku. Rasanya benar-benar canggung di dalam mobil ini. Entah mengapa keadaan memang tidak berubah secepat membalikkan tangan. Kejadian beberapa tahun itu seperti membuat Rona memikul kesalahan yang mungkin tak akan aku maafkan.
Musik pembukaan acara malam ini telah disajikan. Aku yang sejatinya memang tamu VIP duduk di kursi istimewa ini. Rafa dan Lian melambaikan tangan dari tempat duduknya. Aku tersenyum ke arah mereka. Ya, kami bertiga mendapat tiket VIP dengan cuma-cuma dari Rona. Anehnya, Dio juga berada di kursi VIP-di samping mejaku. Aku mengernyitkan dahi padanya. Sambil memberi kode menanyakan siapa wanita dengan rambut sepinggang yang duduk di sampingnya itu. Dio hanya mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. Aku mencibir Dio yang main rahasia denganku. Ah, sungguh, anak itu!
Kami berdua meninggalkan tempat itu di tengah acara. Rona mengajakku makan di suatu tempat. Aku hanya mengikutinya. Alunan lagu mellow memenuhi mobil ini. Sesekali mataku terpejam mengikuti tiap ritme yang mengalun.
Mobil avanza putih ini berhenti di depan sebuah tempat makan yang cukup terkenal di Banyuwangi. Sajian rujak soto dan sego rawonnya begitu terkenal dan juga beberapa makanan khas Banyuwangi lainnya. Tempatnya yang memang dekat dengan pantai membuatnya digemari berbagai kalangan usia.
Aku memilih tempat duduk di luar untuk menikmati indahnya pantai pada malam hari. Rona yang memesankan makanan. Aku beberapa kali mengecek ponselku. Dio si jahat itu tidak mengirim pesan sama sekali. Dasar! Ia melupakanku ketika telah mendapatkan cewek baru.
"Kamu sepertinya ingin mengatakan sesuatu padaku?" Aku langsung menanyainya tanpa basa-basi. Ya, beginilah aku. Aku tidak suka bertele-tele. Kurasa Rona sedari tadi sudah merasa tersiksa dengan napas beratnya yang berkali-kali mengurungkan niat untuk mengucap sepatah kata.
"Besok pagi aku harus ke Ausi." Rona juga menjawab langsung pada intinya. Ia sangat tahu bahwa aku tidak suka perbincangan yang terlalu rumit sana-sini dengan satu point.
"Kau punya saudara di sana?"
"Aku mengambil beasiswaku." Aku terhenyak. Rasanya aku akan kehilangan dia untuk kedua kalinya.
Rona menundukkan kepala, seakan-akan ia bersalah. Aku tersenyum padanya. Kutepuk pundaknya sembari tertawa untuk mencairkan suasana.
"Selamat ya, Kak. Aku bangga mempunyai teman dengan prestasi hebat sepertimu." Rona terpagun. Ia sepertinya terkejut dengan ucapanku.
"Kak? Teman?" Ia mengulangnya.
"Apakah ada yang salah dari ucapanku? Kau memang lebih tua dariku, kan? Ah, maaf, bukannya aku menuakanmu seperti itu." Aku mencoba tertawa seikhlas mungkin. "Kita memang teman, kan? Apa sebelumnya kita adalah musuh? Jangan-jangan ingatanku belum pulih sepenuhnya." Lanjutku.
Rona mengangkat sedikit sudut bibirnya melihatku yang mencoba bertingkah baik-baik saja. Pesanan kami sudah sampai. Aroma makanan khas tanah kelahiranku ini sedikit membuat pikiranku rileks.
"Aku akan menunggumu." Ujarku sebelum menyantap makanan enak ini.
"Wanita yang bersama Dio itu tunanganku. Maafkan aku, Lin." Ucapannya membuatku menghentikan sendok yang hendak memasuki mulutku.
"Maksudku, aku akan menunggumu mengajakku makan di tempat ini lagi ketika kamu berlibur ke Indonesia."
Rona tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Sepertinya aku akan mencair jika menatap senyumnya terlalu lama.
Wanita yang bersama Dio? Tunangan? Pantas saja gadis itu terlihat lebih dewasa dari umurku dan Dio. Kenapa dia bersama Dio? Permainan apalagi yang mereka lakukan? Sepertinya aku benar-benar harus membenci Dio. Aku menghela napas lirih dan melanjutkan suapan yang terpenggal tadi.
Ponselku berdering; sebuah panggilan dari Dio. Kali ini aku akan membunuhnya. Setidaknya aku terselamatkan dari suasana mencekam ini. Dio akan menyusul kami di tempat ini.
Tak begitu lama, mereka berdua datang, menghampiri kami. Dio duduk di sampingku, mengedip-kedipkan mata sambil tersenyum. Sepertinya dia tahu bahwa aku merencanakan pembunuhan untuknya sesampainya di rumah. Dasar, Dio!
Wanita dengan gaun putih itu duduk di samping Rona. Mereka berdua terlihat serasi. Ah, aku iri dengan pasangan ini. Rona yang manis dan wanitanya yang cantik. Dia benar-benar bak bidadari yang telah ditakdirkan untuk Rona. Manisnya ...
"Hai, namaku Linda." aku memperkenalkan diri tanpa disuruh. Setidaknya itu membuktikan bahwa -I'm Okay-.
Wanita itu tersenyum dan membalas jabatan tanganku. Sunny, namanya. Ternyata Sunny juga ikut ke Ausi bersama Rona. Benar-benar bidadari yang sempurna.
Rona menatapku erat dan lekat. Entah kali ini apa yang ia pikirkan dan apa yang ingin ia sampaikan. Aku hanya mengepalkan tangan seraya berkata "Fighting!" untuk menyemangatinya.
Rona menarik tanganku, membawaku ke tepian pantai. Astaga, jangan-jangan ia mengajakku membuat rumah pasir seperti dulu; ketika kami sangat dekat.
Seharusnya dia tahu bahwa ini malam hari. Pasir-pasir itu akan terlihat indah di bawah sinar mentari. Tak sama halnya dengan air lautan yang nampak elok gemerlapnya di bawah sinar rembulan. Namun, gelapnya malam akan menyembunyikan airmata yang menetes perlahan. Dan bisingnya siang akan menyamarkan suara isaknya.
Angin malam memainkan rambut dan juga minidress-ku. Rona melepas jas yang ia kenakan. Menaruhnya di pundakku. Ya, aku memang sedikit kedinginan.
Tatapannya masih sama seperti tadi, erat dan lekat. Aku memintanya untuk segera mengatakan apa yang ingin ia katakan.
"Maafkan aku untuk sakit yang kedua kalinya." Suaranya sedikit parau mengucap kalimat itu.
Aku tersenyum. Tak ada yang perlu dimaafkan, ucapku. Aku bangga dengan prestasinya. Aku tak lebih dari seorang teman, pikirku. Rona memegang jemari tanganku sambil menundukkan kepala. Aku tahu yang ia rasakan. Mungkin ini terlalu berat, pikirku. Sebab itu, aku tak bisa marah dan memakinya.
"Kau tak memberitahuku jauh-jauh hari tentang hal ini. Aku bahkan tak menyiapkan sebuah hadiah untuk perpisahan ini. Maafkan aku." tegas, santai, dan pasti, aku berusaha menutupi semuanya. Rona mengangguk.
"Aku hanya ingin memelukmu sesaat. Untuk pertama dan terakhir kalinya." Pintanya. Aku terdiam tanpa kata. Rona memelukku. Wanita macam apa aku? Di kejauhan sana tunangan Rona mungkin memandangi kami berdua. Atau bahkan ingin membunuhku. Astaga!
Aku melepas pelukan itu. Mengatakan pada Rona bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berikan sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mungkin memang ini beberapa hal yang ingin aku selesaikan dengan Rona, seperti kataku pada Dio tadi siang. Tetapi ini di luar dugaanku.
Malam semakin larut, kami berempat hanya berbincang ngalor-ngidul tanpa hal yang jelas. Aku sesekali tertawa karena tidak tahu apa yang sebenarnya kami perbincangkan. Ah, lucu memang.
Pada akhirnya aku pulang bersama Dio sedangkan Rona bersama tunangannya. Di perjalanan aku sedikit memarahi Dio atas apa yang terjadi malam ini. Dio juga menjelaskan alasan di balik semua itu.
Malam ini kurasa akan sulit untuk memejamkan mata. Kenangan apalagi yang harus aku muat dalam benakku? Andai aku mendapatkan penghasilan dari menumpuk kenangan layaknya aku mengirimkan karya-karyaku, pastilah aku dengan rajin mempercantik kenangan-kenangan yang kelabu.
Esok pagi, wajah yang selalu membuatku gusar akan meninggalkan tanah air ini. Menuntut ilmu di negeri seberang. Semakin menjauhkan hati dan raga yang semula jauh. Ia, satu dari beribu kenangan yang tak sanggup aku baca. Sinar rembulan akan menerangi wajahnya, angin akan menyampaikan rindunya, dan pasir yang kami pijak kala itu akan menunggu kami berdiri di atasnya-lagi.
To be continued ...

39 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang