Chapter 9

28 4 0
                                    

Samar-samar aku mendengar suara yang memanggil sebuah nama. Aku membuka mata, pandanganku kabur. Tak lama, berangsur-angsur normal kembali.

Aku berada di suatu tempat. Seorang kakek duduk di sampingku. Ada dua orang lelaki muda seumuranku berdiri di sana bersama seorang gadis belia.

Mereka semua menyebut sebuah nama dengan memandangiku. Aku bingung dengan apa yang dilakukan mereka. Aku masih tetap terdiam sambil memainkan bola mataku.

"Siapa itu Linda? Apa dia ada disini?" aku tidak tahu mengapa pertanyaanku sontak membuat mereka menganga kaget. Salah seorang lelaki itu memanggil dokter.

Tidak begitu lama seorang dokter datang memeriksaku.

"Dissociative amnesia. Ini adalah jenis amnesia langka. Bisa disebabkan oleh trauma seperti tindak kejahatan. Tetapi hanya dalam waktu singkat. Orang yang dia ingat akan membantu dalam penyembuhannya.

Aku masih bingung. Benar-benar tidak percaya. Tapi kenyataannya aku memang tidak bisa mengingat siapa namaku dan siapa mereka. Seorang lelaki yang lain menangis dengan memukuli dirinya sendiri, kemudian meminta maaf padaku berulang kali.

Tiba-tiba seorang cewek dan cowok datang menghampiriku sambil menyebut nama itu tadi dan menanyakan keadaanku. Aku masih tidak mau berbicara. Salah satu dari mereka memberitahukan bahwa aku mengalami amnesia. Seketika mereka berdua ikut menangis.

Sudah dua hari aku berada di rumah sakit ini. Beberapa orang yang mengaku sebagai temanku datang menjengukku. Guru-guruku pun ikut datang menjenguk. Bahkan banyak lagi yang datang mengaku sebagai penggemarku. Apa-apaan ini? Apakah aku artis, sehingga memiliki penggemar? Bukan. Ternyata aku bukan artis. Aku hanya seorang penulis naskah mingguan di sebuah kantor berita.

Dua orang lelaki yang mengatakan bahwa dirinya bernama Rona dan Dio senantiasa menemaniku siang dan malam.

Seorang lelaki tua yang katanya kakekku itu sudah tidak disini. Beliau kembali kerumah dan dirawat oleh teman-temanku yang lain. Tunggu, aku juga menanyakan keberadaan gadis belia yang waktu itu sempat aku lihat. Aku masih mengingat apa yang dikatakannya, yang menjadi sebuah pertanyaan dibenakku.

"Aku mau tinggal bersama bibi saja daripada tinggal bersama seorang kakek berpenyakit dan kakak yang amnesia!" Kurang lebih seperti itu yang ia katakan. Kemudian ia berlari menuju seorang perempuan yang berdiri di depan pintu. Kemudian meninggalkan ruangan dan tidak pernah datang lagi sesudahnya.

Lelaki yang bernama Dio itu membenarkan bahwa yang aku maksud tadi adalah kakek dan adikku. Tetapi ia tidak pernah menjawab pertanyaanku perihal penyebab aku terluka. Ia berkata bahwa suatu saat nanti aku akan ingat dengan sendirinya.

Sore nanti aku sudah diperbolehkan pulang. Ingin rasanya aku menanyakan satu hal lagi, namun aku takut mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga pada akhirnya tanpa aku bertanya, setelah mengamati raut wajahku, Dio berkata bahwa orang tuaku sudah meninggal, keduanya.

Aku menitikkan air mata. Pantas saja tidak pernah ada seseorang yang menyuruhku mengingat bahwa ia ayah atau ibuku. Aku semakin bermuram durja.

Terlebih lagi hanya nama Rona yang aku kenal ketika dokter pertama kali menyuruhku mengingat sesuatu. Padahal aku sendiri tidak tahu siapa itu Rona, serta alasan mengapa hanya namanya yang aku ingat.

Aku tidak tahu harus percaya atau tidak bahwa lelaki kuliahan itu bernama Rona. Aku hanya mencoba percaya, seperti yang dikatakan Dio.

Lian, sahabatku, katanya, dia datang dengan masih mengenakan seragam sekolah. Aku tidak percaya memiliki sahabat yang begitu cantik seperti dia. Ada bagian yang aku suka darinya, yaitu lesung pipit dan lensa abu-abu matanya.

Hari ini dia datang sendiri, tidak bersama Rafa yang ternyata juga sahabatku. Dia hari ini ada jadwal pemotretan penting, ujar Lian.

Lian menyisir rambutku, memakaikan jepit warna ungu, kemudian mengemasi barang-barangku. Dio mengurusi administrasi rumah sakit.

Lelaki yang bernama Rona itu datang dengan membawakan beberapa permen lolly untukku. Ternyata aku tidak melupakan rasa lolly kesukaanku. Aku lega karena masih ada hal-hal yang tidak aku lupakan.

Aku merupakan murid terpintar di sekolah, ujar Lian. Aku tidak percaya itu. Sungguh. Kemudian Lian menyodorkanku sebuah buku pelajaran dan menyuruhku mengerjakan soal-soal di dalamnya.

Hebat! Aku tidak tahu kenapa aku bisa dengan mudah menjawabnya. Seakan kalimat-kalimat itu mengalir begitu saja di benakku. Barulah aku percaya bahwa aku siswa yang lumayan pintar.

Aku sempat mendengarkan perkataan dokter kemarin bahwa saat ini yang aku ingat adalah sesuatu yang aku sangat aku sukai atau sesuatu yang sangat aku benci. Terbesit dibenakku untuk mencari kebenaran apakah Rona orang yang sangat aku sukai atau sebaliknya.

Ketika aku menanyakan hal itu kepada Dio, ia berkata bahwa Rona sangat aku benci. Tetapi jawaban itu berbeda ketika aku tanyakan kepada Lian. Lalu aku menanyakan secara langsung kepada Rona. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sendiri bingung berada di posisi yang mana.

Ternyata susah menjadi orang amnesia. Tidak mengerti akan kebenaran yang mereka katakan. Aku hanya bisa mencoba mempercayainya.

Sepanjang perjalanan dengan mobil Jeep Rona, Lian menceritakan beberapa hal untuk membantuku mendapatkan kembali ingatanku. Aku mendengarkan dengan serius. Aku rasa Lian bisa aku percaya, tetapi aku juga harus hati-hati. Sesekali Dio menceritakan hal-hal yang sering aku lakukan. Anehnya, Rona sedari tadi hanya diam di kursi kemudi. Dia tidak menceritakan apa-apa. Rona malah mengajakku berkeliling besok setelah sekolah usai.

Aku melihat ke arah Lian, berharap ada jawaban; haruskah aku pergi atau tidak. Lian tersenyum, ia mengangguk, pertanda aku boleh ikut Rona esok hari. Dio terlihat kurang senang. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu tetapi terhenti ketika Rona menepuk pundaknya.

Malam ini kakek menceritakan segala hal tentang masa kecilku, keluargaku, bahkan kematian orang tuaku. Tragis memang ketika aku mendengarkan cerita itu, tetapi aku hanya diam tidak tahu apa-apa. Kakek juga menceritakan bagaimana sifat adikku yang bernama Devisia itu.

Dari cerita beliau, sepertinya aku bukan kakak yang baik. Tapi kakek menyalahkan pendapatku. Katanya, aku adalah anak terbaik dari semua anak yang pernah ia temui. Ya iyalah, kan aku cucunya, pikirku.

Lian mengambilkan beberapa foto keluargaku. Aku amati satu persatu, siapa tahu ada seseorang yang aku ingat.

Percuma, aku tidak mengingat apa-apa kecuali satu nama, Rona.

Tak perlu khawatir, proses penyembuhan memang butuh waktu. Tidak bisa dalam satu hari akan usai. Satu hal lagi, tidak boleh terlalu memaksakan karena akan memperparah kerusakan saraf di otakku.

Setiap kenangan memiliki keistimewaan tersendiri. Entah itu baik atau buruk, ia tetap kenangan. Sesuatu yang pernah dilewati; sendiri ataupun bersama. Ketika kenangan muncul kembali, waktu seakan ingin diputar kembali, lantas dihentikan.

To be continued ...

39 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang