Begitu perhatiannya, Andi tahu benar kalau Lian suka sosis bakar. Lian tidak bisa menolak sosis itu hanya untuk menjaga perasaan Elly, dia juga harus menjaga perasaan Andi. Karena, disaat seperti ini Andi pasti akan menunggu Lian memakannya. Dan kebetulan Elly tidak suka makan sosis, jadi Lian bisa menjaga perasaan Andi.
Tak hanya itu, Andi juga membawakan minuman untukku dan Rafa. Begitulah caranya menunjukkan harta. Menurutku itu hal yang wajar, selama ia tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar kepada Lian. Sepengetahuanku selama bersekolah disini, Andi tidak pernah melakukan hal-hal kriminal. Bahkan dia termasuk ke dalam the best ten murid dengan nilai terbaik di sini.
Kami tertawa menceritakan beberapa hal tentang pelajaran. Tidak banyak memang selain pelajaran yang kami bahas ketika duduk di bawah pohon siang hari seperti ini. Angin semilir itu menerpa rambut Lian. Tawanya dengan mata yang berlensa abu-abu itu terlihat lepas. Aku yakin burung-burung disini juga mengatakan kekaguman tentang sosok Lian.
Setelah jam makan siang berakhir, kami sibuk menyiapkan barang-barang untuk festival. Kami berencana membuat empat tema berbeda dalam setiap box. Berdasarkan kesepakatan, kami memilih tema Hello Kitty, Black and White, Summer, and Paris. Dalam setiap box, maksimal diisi oleh 5 orang ketika berfoto. Mereka akan mendapatkan 5 print foto langsung jadi hanya dengan membayar 35k. Di tahun 2016 yang serba mahal dan canggih ini, harga dengan jumlah barang serta kepuasan seperti itu sudah cukup murah kurasa. Kami danya ingin mengambil sedikit keuntungan tetapi mendapat banyak pelanggan. Karena sesuatu yang hanya sedikit jika dikumpulkan akan menjadi banyak. Daripada banyak tetapi yang kita dapat hanya sedikit.
Lian dan aku mendapat tugas membuat accessories untuk box bertema Hello Kitty serta sebuah kamera. Kelas kami membutuhkan sebuah kamera untuk tiap box-nya. Aku rasa bisa meminjam kamera milik Rafa untuk itu. Ketika di jalan pulang, aku dan Lian berhenti di sebuah toko wallpaper untuk membeli wallpaper Hello Kitty beberapa meter.
"Lian, lihat kakak kelas itu. Dari tadi dia memperhatikanmu." Kataku pada Lian yang sedang membayar di kasir. Kemudian Lian melihat kakak kelas yang aku maksud, lalu tersenyum padanya.
Wajah kakak kelas itu semakin sinis ketika Lian tersenyum padanya. Aku langsung buru-buru mengajak Lian keluar toko. Aku yakin sekali bahwa kakak tadi itu salah satu haters yang sering memberi hal-hal aneh di loker Lian. Aku juga sering melihat kakak itu tadi bersama Andi. Mungkin dia juga anggota organisasi. Entahlah, aku kurang tahu hal itu, karena aku bukan anggota organisasi.
Kemudian aku mengantarkan Lian ke salah satu mall terkenal di kota ini. Lian harus melakukan kerja paruh waktunya. Ia bekerja setiap senin sampai sabtu dari jam 4 sore hingga 8 malam. Tenang saja, Lian tidak harus menggunakan pakaian-pakaian mini seperti para 'SPG' yang menawarkan barang itu. Lian bekerja di sebuah salon yang selalu ramai bernama 'MACE' di lantai 3.
Lian bekerja di tempat itu sejak kelas 1 SMP. Bukannya ia dari keluarga kurang mampu, hanya saja ia ingin menjadi gadis yang mandiri. Orang tua angkatnya yang memiliki gaji cukup besar tidak keberatan dengan keinginannya.
Masalah keluarga Lian? Belum saatnya aku bercerita tentang semua itu.
Sejak SMP aku dan Rafa mengantarkan dan menjemput Lian setiap bekerja. Kecuali ketika aku dan Rafa memiliki acara keluarga. Orangtua kami juga tidak keberatan dengan aktivitas rutin itu. Toh, ini yang namanya sahabat. Kami selalu merindukan satu sama lain setiap saat.
Kedai minuman tempat aku dan Rafa menunggu Lian juga sudah hafal dengan kami. Bahkan kami disediakan tempat khusus oleh kakak penjaga kedai. Dia juga hafal pesanan kami. Kopi latte untuk Rafa dan white coffe dengan sedikit gula untukku. Kalaupun Lian ikut minum, ia akan memesan hal yang sama sepertiku.
Setelah makan malam dan belajar, aku berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai untuk menjemput Lian. Kami bertiga tak pernah merepotkan orang tua untuk masalah-masalah kecil kehidupan kami. Kami bisa dengan bantuan sahabat. Mereka selalu siap sedia setiap saat di bandingkan orangtua kami yang sibuk bekerja.
Rafa, dia bisa memiliki barang-barang mewah itu juga bukan karena uang dari orang tuanya. Tetapi hasilnya dari menjadi seorang model sejak SMP. Sekarang dia juga masih melakukan pekerjaan itu setiap hari minggu. Gajinya cukup besar tiap kali pemotretan. Oke, tunggu, ada saatnya nanti aku menceritakan tentang Rafa, juga.
Di perempatan jalan itu, di bawah lampu temaram di tengah lalu lintas yang ramai, Rafa menungguku. Ia selalu menungguku disana. Sebenarnya bisa saja ia datang ke rumahku. Hanya saja aku yang melarangnya. Aku yang menyuruhnya menunggu di tempat itu. Lima belas menit sebelum jam 8, kami meluncur ke tempat Lian.
Sesampainya disana, kami langsung menaiki lift menuju lantai 3. Jangan tanya lagi. Satpam pun hafal sudah dengan wajah kami. Apalagi wajah Rafa seorang foto model di salah satu toko baju di mall ini juga. Wajahnya terpampang jelas disana.
Pesanan kami sudah ada di meja ketika kami datang. Aku menyapa kak Joe dengan ramah. Pelanggannya hari ini cukup banyak.
"Sepertinya masih ada 1 pelanggan lagi yang harus ditangani Lian." Ujar kak Joe sambil mengantarkan kopi-kopi pesanan pelanggan. Setiap pelanggan di salon tersebut akan di beri pita sesuai pekerja yang akan menangani rambutnya. Lian memiliki pita warna hijau di bajunya.
Tak begitu lama menunggu, Lian sudah selesai melakukan pekerjaannya. Pekerja yang menggantikannya sudah datang. Ya, sistem salon yang buka 24 jam ini yaitu kerja shift. Setiap 4 jam sekali pegawainya akan berganti. Itu yang memudahkan Lian untuk tetap bisa bekerja disini.
Setelah menghabiskan kopi masing-masing, kami menuju lantai 4 seperti biasa. Kami akan pergi ke toko elektronik terbesar di mall ini. Disana kami bisa melihat tv secara gratis. Jangan tanya sudah, manajer toko elektronik ini sudah hafal benar dengan kedatangan kami. Mereka tidak keberatan selama tidak mengganggu para pelanggan. Malah kami sering membantu mereka untuk meyakinkan pelanggan bahwa barang-barang disini memiliki kualitas yang tidak dapat diragukan lagi. Setiap hari kami melakukan itu. Terkadang kami diberi uang oleh pemiliknya untuk time zone, katanya. Uang hasil dari bekerja bersama ada sendiri tempatnya di base camp.
Satu jam kemudian kami harus kembali ke rumah. Meskipun kami dibebaskan mau kemana saja selama bertiga, bukan berarti kami harus melanggar jam wajar untuk anak remaja seperti kami ini.
Ferrary hitam Rafa membawa kami kembali ke perempatan jalan yang tak jauh dari rumahku, mungkin sekitar 100 meter. Aku dan Lian berjalan melewati setapak yang lubang sana-sini menunggu perbaikan. Sesekali kami tertawa menceritakan hal-hal bodoh yang telah kami lalui hari ini. Memang bukan hobbi kami untuk membicarakan orang lain, apalagi aib. Kami bertiga benar-benar cuek dengan apa yang orang lain lakukan dan katakan tentang kami. Toh, nantinya mereka sendiri yang akan merasakan kebosanan.
Lian yang lebih dahulu sampai di rumah, karena rumahku berada di gang sebelah rumah Lian, dan masih masuk beberapa meter.
To be continued ...