Pebruari 2018
Pagi ini cuaca sedikit mendung. Beberapa awan bergelayut di langit timur. Aku mengintip melalui jendela mencari burung-burung yang biasa bertengger di pohon samping kamarku. Tidak ada satupun dari mereka di sana. Kemudian aku bermain-main dengan ikan yang berada di aquarium dekat jendela kamar. Mereka sepertinya juga sedang tidak dalam mood untuk bercanda denganku.
"Kak, apa kakak sudah bangun?" suara Devisia tak mengalihkan pandanganku dari ikan-ikan ini.
"Kakek ingin makan bubur sumsum." Lanjutnya. Sepertinya dia masih berdiri di depan kamarku. Aku berjalan dengan malas mengambil jaket dan dompet.
Jam di dinding masih menunjukkan pukul setengah 5. Aku dan adikku, Devisia, bersepeda menuju pasar tradisional terdekat. Hal yang pertama kali kami lakukan yaitu membeli bubur sumsum kakek. Kemudian membeli sayuran, dan terakhir membeli jajanan pasar kesukaan kami berdua.
Rumah yang berada tidak jauh dari gang itu terlihat cerah dengan cat warna kuning. Pagar bambu di halaman rumah menampakkan kesederhanaan. Pohon mangga yang lagi berbuah itu terlihat sangat rindang dengan sebuah kursi bambu panjang di bawahnya.
Seperti minggu biasanya, aku pergi ke sebuah kantor berita untuk mengirimkan naskah mingguanku. Dio, tetangga seumuranku tidak pernah absen menemaniku pergi mengirimkan naskah sejak SMA ini.
Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya. Dia hanya temanku di waktu kecil. Kemudian ia menjadi santri di sebuah pesantren terkenal di luar kota sejak SD. Ia memutuskan melanjutkan sekolahnya di luar pesantren. Kini, Dio tinggal di asrama sekolah yang memiliki jarak tempuh satu setengah jam. Setiap hari sabtu sore ia pulang, kembali lagi hari senin pagi.
Awalnya aku berangkat sendiri tiap kali mengirim naskah. Karena aku sering melewati rumah kakak Dio yang juga merupakan rumah yang ia tinggali, akhirnya Dio menawariku untuk diantar.
Aku menolak.
Wanita macam apa, pikirku, jika harus menggantungkan lelaki yang tak begitu ia kenal.
Dio tetap memaksa. Karena kasihan melihat Dio yang memohon-mohon, aku pun mengiyakan. Ternyata, ia hanya ingin menjadi teman dekatku seperti dahulu. Sekarang ia tidak memiliki teman dekat di kota yang individualis ini.
Sekitar pukul 9 Dio datang ke rumahku. Postur tubuh yang nampak gagah itu sangat cocok dengan motor warna hitam abu-abu tersebut. Begitu kecenya ia, menurutku.
Aku rasa pendapatku tentang Dio tidak salah. Buktinya, teman-temanku yang tidak sengaja melihatku bersama Dio langsung meminta pin BB-nya. Atas persetujuan Dio, aku pun memberikannya.
Dio pernah berkata padaku bahwa teman-temanku bukan tipenya. Mereka terlalu centil, bertopeng, matre, dan lainnya. Aku hanya mengangkat bahu.
Hari ini aku dengan rok hitam 5cm di bawah lutut dan blouse warna pink serta tas selempang kecil duduk di jok belakang. Arah angin yang kami lawan memainkan rambutku yang sebahu dengan jepit kecil di samping. Dio memperhatikanku dari kaca spionnya.
Handphoneku bergetar, sebuah panggilan dari Rona. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya.
"Rona?"
Aku mengangguk. Dio tahu siapa Ronakarena sangat terkenal di kalangan gadis-gadis SMA-nya. Dio menyuruhku menerima telpon itu. Meskipun dia tahu sebenarnya aku benar-benar malas menanggapinya. Dio bilang, aku harus tetap menjadi orang baik meskipun suasana hati tidak baik. Aku menuruti nasihatnya.
Benar saja, seperti biasa. Rona mengajakku makan malam. Dio menyuruhku untuk menyetujui permintaan Rona. Aku benar-benar sebal dengan nasihat Dio. Tapi aku coba untuk mengikuti perintahnya. Aku rasa ia sedang melakukan suatu rencana.
Selagi aku mengurusi naskah yang aku kirimkan, Dio menunggu dengan sabar di sofa coklat dekat pintu. Ia tidak pernah mengeluh meskipun harus menunggu selama satu jam. Terkadang aku sendiri yang merasa tidak enak dengan Dio.
Beruntunglah minggu ini tidak begitu ramai. Aku bisa dengan cepat keluar kantor setelah mendapat honor atas karyaku sebelumnya.
"Kita makan siang dulu, lalu ke toko." Ujarku. Biasanya Dio tidak mau aku traktir, tetapi semalam aku memaksanya. Kegiatan rutin setelah mengirim naskah yaitu ke toko sembako membeli kebutuhan untuk seminggu ke depan.
Sejak kepergian kedua orangtuaku dua tahun lalu, aku tinggal bersama kakek dan adikku. Uang asuransi kedua orang tuaku kami gunakan untuk sekolah. Sedangkan untuk hidup, aku memutuskan untuk mencari uang tambahan sendiri.
Terlebih lagi Devisia, adikku, yang sekarang kelas 1 SMP, selalu menghukumku dengan kata-katanya mengenai kematian ayah dan ibu.
"Kalau bukan karena kakak, ayah dan ibu pasti masih disini. Memanjakanku seperti anak-anak lain! Tidak seperti ini, yang hidup sederhana dengan kakek!" Ia sering mengatakan hal itu. Ingin rasanya hatiku menampar wajahnya yang cantik. Hanya saja kakek selalu berdehem untuk mengingatkanku akan arti kesabaran. Aku hanya mengakui kesalahanku, berulangkali, dan meminta maaf. Akan tetapi, Devisia selalu mengungkitnya lagi, dan lagi.
Kakek yang merupakan seorang penjahit, sudah tidak bisa menekuni pekerjaannya sejak satu tahun terakhir karen penyakit yang menyerang beliau. Aku meneruskan keahliannya dalam merancang desain busana. Penghasilan yang aku dapatkan dari hasil menjual gambar-gambar itu aku gunakan untuk membiayai pengobatan kakek. Naasnya lagi, tidak ada satupun anak-anak kakek yang peduli. Andaikan ayah dan ibuku masih ada, mungkin hanya mereka yang mau menemani kakek dalam keadaan apapun; dalam menghabiskan waktu tuanya. Kakek merasa beruntung masih mempunyai cucu sepertiku.
Honor dari desain baju yang aku dapatkan juga untuk kebutuhan Devisia yang selalu gengsi dengan teman-temannya. Ia ingin tetap hidup normal seperti masih ada ayah dan ibu. Karena aku menyadari kesalahanku dan merupakan tanggung jawabku untuk merawat Devisia, aku relakan itu semua. Bagiku, kebutuhan kakek dan Devisia itu yang terpenting.
Rumah kedua orang tuaku dikontrakkan. Aku memilih untuk tinggal dalam keluarga sederhana bersama kakek, meskipun saudara-saudaraku yang lain memaksaku untuk tinggal bersama mereka. Mereka bersimpati kepada kami hanya karena asuransi ayah dan ibuku. Awalnya Devisia lebih memilih hidup bersama mereka. Setelah mencoba tinggal bersama mereka satu bulan, Devisia memilih untuk tinggal bersamaku karena tidak kuat dengan perlakuan sepupu-sepupunya.
Bisingnya suara kendaraan menemaniku yang sedang makan siang bersama Dio di sebuah warung makan pinggir jalan. Aku sebenarnya risih dengan pandangan-pandangan mata yang terlihat iri dengan kami berdua. Padahal kami hanya sebatas teman, bukan pasangan kekasih, batinku.
Tanpa disengaja, Lian dan Rafa datang untuk makan siang di tempat yang sama denganku. Jadilah mereka yang sedari tadi iri melihatku dan Dio, sekarang bertambah iri lagi melihat Rafa dan Lian yang cakep dan keren abis. Mungkin pikir mereka, kenapa ada orang-orang keren yang mau mampir di tempat seperti ini.
Anehnya, pengunjung yang datang bertambah banyak ketika kami berempat ada disini. Ibu pemilik warung makan itu berterima kasih kepada kami. Kami yang tidak tahu apa-apa hanya tersenyum.
"Bu, kalau boleh tahu, kenapa orang-orang itu sedari tadi melihat kami terus, ya?" tanya Dio.
"Ya iyalah dek. Kalian siswa SMA 2 kan? Kecuali adek yang bertanya ini. Mereka semua tahu siapa kalian meskipun kami ini orang desa." Tuturnya. Dio masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud ibu tersebut.
"Kamu nak Rafa putra SMA 2, yang ini Lian gadis terkenal itu, sedangkan adek ini Yulinda si penulis mingguan koran terkenal itu kan?" lanjutnya sambil menunjuk kami satu persatu. Dio heran. Padahal jarak SMA 2 dengan tempat ini cukup jauh, tetapi mereka masih terkenal juga. Aku hanya tersenyum sambil menepuk bahu Dio.
"Mungkin ada saatnya aku juga terkenal jika selalu bersama kalian." Nadanya terdengar begitu mengharap. Kami semua tertawa.
Jarang memang kami bisa bersama-sama kumpul di warung makan pinggir jalan. Biasanya kumpul di kafe, hanya sekedar ngopi. Jadi, Dio tidak tahu bahwa teman-temannya ini terkenal sampai pelosok desa.
To be continued ...
