BAB​ 1 : MENYERAH

856 162 105
                                    

Radha POV

Ku hitung setiap langkah kaki yang ku tapakan di jalanan Ibu kota ini. Kejam. Aku ingin menangis berkali-kali. Dadaku sesak. Setiap hembusan nafas seolah menyayat mentah-mentah setiap rongga di paru-paru ku. Perih. Dadaku penuh. Rasanya ingin aku berhenti melangkah dan menagis meraung-raung atau enyah sekalian dari kehidupan ini. Aku frustasi.
Aku tidak peduli dengan langkahku yang hampir gontai. Aku benar-benar ingin mati karena rasanya tersungkurpun tidaklah cukup. Hidupku berakhir.

Aku memejamkan mata untuk kesekian kali. Berusaha menetralisir perasaan hatiku yang sudah luluh lantah ini. Aku ingin menyerah. Rasanya semakin sakit saat bayangan manis tapi palsu itu kembali hadir membawa sejuta harapan yang juga palsu. Aku kalah dengan hatiku. Aku kalah bahkan dengan mimpiku. Aku tenggelam dalam kepalsuan yang ku ciptakan melalui angan dan mimpi manis. Aku benar-benar kalah.

TINNN, Suara nyaring klakson mobil tiba-tiba memekakkan gendang telinga ku.

Terlambat untuk berlari. Terlambat untuk menyadari posisiku yang sudah berada tepat di tengah jalan. Suaraku teralu berat untuk berteriak. Lagi-lagi aku hanya bisa menutup mata. Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Aku butuh istirahat dan berharap ini hanya mimpi buruk. Sangat buruk.

Aku merasa tubuhku melayang dengan cepat dan membentur tanah. Sakit. Hanya itu yang ku rasakan sesaat sebelum aku benar-benar terpejam.

δᴗδ

Radha POV

"Radha..." Aku masih bisa mendengar seseorang memanggil namaku dengan samar dan memelukku erat.

Kepala ku masih pusing. Sinar matahari perlahan menerobos masuk ke penglihatanku saat aku membuka mata.

"Aku dimana?" Tanya ku dengan nada yang sangat rendah. Aku masih benar-benar lemah. Orang itu masih dalam keadaan memelukku. Aku dapat merasakan nafasnya yang hangat yang berhasil menerobos pori-pori baju ku dan menyapu kulitku dengan lembut. Suara yang terdengar berat tapi khas. Suara yang ku hapal betul.

Aku dapat merasakan tubuhnya terangkat. Dia melepaskan pelukannya padaku. Dengan pandangan yang masih sangat samar, aku mencoba untuk mengenali wajahnya. Perlahan aku dapat mengenalnya. Dia sahabatku – Ardhan.

"Radha," Aku dapat merasakan kecemasan dalam setiap nada suaranya. Dia menyentuh keningku. Tangannya terasa agak dingin. Atau mungkin karena tubuhku yang agak demam saat ini, "Kamu kenapa?" Lanjutnya.

Aku merasa suaraku teralu berat. Tenggorokanku teralu kering. Aku begitu tercekat. Tidak ada sepatah suara pun yang muncul keluar.

"Oke. Aku enggak akan maksa kamu bicara sekarang. Lagipula kamu juga baru sadar dari pingsan," Dia membelai lembut keningku.

Aku mengedarkan pandanganku untuk mengecek dimana keberadaanku sekarang. Saat pandanganku berangsur normal, aku berniat mengubah posisi tubuhku menjadi duduk. Ku rasakan tangannya berusaha membantu ku duduk. Aku hanya menurut saja dan tersenyum kecil padanya.

"Sebenarnya kamu itu kenapa sih?" Aku dapat menangkap rasa cemas pada tatapan matanya dan setiap nada ucapannya.

Tiba-tiba kerapuhan merasuki diriku kembali. Air mata tiba-tiba turun membahasi pipiku. Aku terisak lagi. Ku rasakan sebuah tangan dikalungkan tepat di belakang kepala dan menuntunku untuk jatuh pada pelukannya yang nyaman. Dia tidak menghapus air mataku. Tapi dia malah membiarkan aku menangis di dadanya.
Dengan jarak yang tidak bersisa di antara kami, aku dapat mendengar detak jantungnya yang teratur. Hangat tubuhnya seolah ikut menghangatkan hatiku yang terasa sesak dan dingin saat ini. Aku melingkarkan kedua tangan ku ke tubuhnya. Ku biarkan air mata ini jatuh sepuasnya, berharap tidak ada lagi tetesan yang tersisa nanti.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang