BAB 8 : I AM NOT A DAMN BOY

337 52 72
                                    

       

Namaku Radha Anggraini Wardana. Tubuhku tinggi semampai. Ingat, semampai dalam arti sesungguhnya. Bukan semeter tak sampai. Panjang rambutku sekitar 10 cm di bawah pundak dan memiliki mata agak sipit berwarna coklat. Kebanyakan orang mengatakan bahwa aku ini adalah gadis yang cantik dan cerdas. Bahkan ada seorang pria yang selalu mengatakan, bahwa lelaki yang akan memilikiku nanti adalah laki-laki yang beruntung. But, damn! Semua itu omong kosong. Yang sebenarnya adalah aku wanita yang dicampakkan menjelang hari pernikahan. Sial!

Aku mulai menyeruput jus melon yang dari tadi sudah ada di hadapanku. Aku benar-benar telah kehilangan semangat hidup. Apa kalian tahu bagaimana rasanya patah hati? Rasanya itu seperti jatuh terhempas ke bumi setelah meluncur bebas dari ketinggian. Organ tubuhmu hancur berkeping-keping. Kamu seolah melihat malaikat pencabut nyawa tepat dihadapanmu dan kamu dipaksa mati. Ingin berteriak minta tolong, tapi ternyata pita suaramu pun ikut hancur. Dan yang kamu bisa lakukan hanya menangis. Itu pun hanya dalam hati.

Aku duduk sendiri di kursi paling sudut di salah satu restoran mewah di Kemang. Meja dan kursi tertata sempurna lengkap dengan perlengkapan makan. Lampu hias mempercantik tampilan setiap meja. Di bagian luar terdapat taman yang ditumbuhi berbagai macam pohon dan bunga. Air mancur dengan setia terus menari untuk menarik perhatian mata konsumen. Aku dapat menikmati semua itu secara gratis dari balik kaca besar yang menjadi pemisah bagian dalam dan luar restoran ini. Sungguh suasana yang luar biasa indah, seluar biasa harga yang dibandrol untuk setiap menunya.

Aku menarik nafas panjang berkali-kali. Mengutuk berbagai ketotolan yang telah aku lakukan akhir-akhir ini. Setelah dicampakkan menjelang hari pernikahan, aku menjadi sangat labil dan mudah marah namun selalu menyesal kemudian.

Jujur saja, kalau bukan Ardhan yang mengajakku ke restoran ini dan berjanji mentraktirku, aku sangat ogah untuk makan disini. But wait..? Tunggu dulu! Bagaimana mungkin aku masih punya muka untuk bertemu dengan Ardhan setelah kejadian di kamar hotel beberapa hari lalu.

Ini gila, Umpatku atas ketololan tadi pagi yang menyetujui pertemuan sore ini dengannya.

Dia pria yang ku dapati berada di satu kamar hotel dengan ku beberapa hari lalu dalam keadaan shirtless dan menciumku tanpa izin. Aku membuang nafas agak kencang. Mencoba menahan rasa malu agar wajah ku tidak semakin menyerupai kepiting rebus.

"Maaf, aku telat," Tiba-tiba terdengar suara berat khas seorang pria yang berhasil memecah lamunanku, diiringi dengan suara derit kursi yang di tarik mundur. Kini pria itu duduk dengan sangat santai di hadapanku.

"Hmmm," Jawab ku acuh.

"Are you okay?" Dia terlihat cemas. Punggung telapak tangannya menyentuh keningku untuk memastikan bahwa aku tidak demam.

"Kau bolos jam kerja ya?" Tanyaku dengan nada kesal yang sengaja ku buat-buat.

"Come on! Tidak akan ada yang memarahi ku," Dia mulai tertawa renyah. Tawa yang menjadi ciri khas nya.

Aku hanya diam. Tidak seperti biasanya yang ikut menimpali gurauannya.

Ardhan berhenti tertawa dan mulai menatapku dengan serius, "Kau susah sekali di temui akhir-akhir ini? Apa kau mencoba melarikan diri dengan terus bekerja?" Laki-laki itu mulai menyeruput kopi-nya yang baru saja datang. Ardhan belum tahu bahwa aku telah resign dari kantor.

Aku menghela nafas agak panjang, "Aku malu bertemu dengan mu..." Ucapku terputus.

Hey, jujur aku sangat malu mengakui hal barusan, Umpatku dalam hati.

Ku lihat dia hampir tersedak kopinya, "Kenapa? Come on! Sumpah aku enggak melakukan apapun malam itu." Ucapnya dengan nada rendah namun penuh penekanan.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang