Radha POV
"Ar, menurutmu yang lebih cocok sama aku yang mana ya?"
Ku layangkan padangan kearahnya yang terlihat cukup berkonsentrasi dalam memilih. Masing-masing pergelangan tanganku memegang 1 stelan busana kerja formal. Yang satu berwarna merah darah dan yang satu lagi bewarna biru muda. Ku lihat bola matanya secara teratur berganti fokus pandang. Pertama, dia melirik ke arah busana kerja yang berwarna merah darah dan kembali menatap ku. Lalu berikutnya, dia gantian melihat ke arah busana kerja yang ada di tangan kiriku dan mengembalikan pandangannya ke arahku lagi. Begitu terus berulang-ulang. Aku menatapnya dengan serius untuk beberapa waktu hingga aku merasa kesal karena dia tidak kunjung memberikan pendapat.
"Ayo kita pulang, sepertinya kamu lelah." Aku menyerah. Lagipula kita sudah belanja lebih dari 5 jam dan itu adalah hal yang luar biasa untuk pria yang tidak suka berlama-lama di dalam mall seperti dia. Astaga!
"Bukan begitu. Aku hanya bingung, kenapa kamu minta aku membandingkan kedua setelan itu? Itu kan hanya beda warna," sanggahnya sambil menyandarkan punggungnya ke soffa.
Aku memutar bola mataku karena kesal atas kebohongannya barusan. Ya, suka berbohong adalah salah satu dari kriteria pria menyebalkan bagiku.
"Oh, come on, jangan marah. Aku tak bermaksud begitu. Sungguh," Dia terlihat bangkit dari soffa dan berjalan menghampiriku.
Aku memandang ke arah manik matanya lalu tersenyum manis. "Aku enggak marah, Ardhan. Lebih tepatnya, aku enggak punya alasan untuk marah ke kamu," ucapku disertai tawa.
Oh, dear! Rasanya seakan luar biasa saat menyadari aku bisa tertawa lagi. Aku benar-benar bahagia saat bersamanya. Rasa sakit yang menyiksaku akhir-akhir ini bahkan seolah membuat aku lupa bagaimana rasanya bahagia untuk hal yang sederhana.
KRUYUK... KRUYUK...
Masing-masing dari kita langsung terdiam saat mendengar demo diperutku.
"OMG. Apa kamu mendengar sesuatu? Suara apa itu?" godanya sambil menaikkan sebelah alis matanya dan menatapku dalam-dalam.
Benar-benar memalukan, batinku.
Dia lalu melanjutkan tawanya saat melihat reaksiku yang menunduk malu. Hingga tiba-tiba aku merasa ada lengan yang melingkar dibelakangku dan menyentuh pundakku dari sisi yang satunya. Oh, dear, dia merangkulku.
"Sini aku bantu bawa," ucapku saat menyadari tangan kirinya yang sibuk memegang banyak tas belanjaan.
"Enggak usah," jawabnya sambil mengeratkan rangkulannya di pundakku.
Aku hanya menurut saja saat dia merangkulku dan mengajakku kesalah-satu restoran yang ada di dalam mall. Entah apa yang terjadi padaku, yang pasti sekarang ini aku sedang sibuk berdoa agar suara debar jantungku ini tidak didengar olehnya.
Otakku bertitah agar aku segera memalingkan pandangan dari wajah tampannya itu, hanya saja organku seolah mati rasa. Wajah tampan itu dihiasi dengan pahatan tulang pipi yang sempurna, rahang yang kuat, hidung mancung, bibir penuh, mata coklat, dan alis yang tebal.
Sempurna, batinku disertai senyuman manis yang merekah dibibirku.
δᴗδ
"Hei."
Aku seolah terhempas dari dunia khayalku saat pria dihadapanku ini mengibaskan telapak tangannya tepat di depan mataku.
"Ngelamun enggak akan buat kamu kenyang, Rad," lanjutnya sambil tertawa kecil. Tangannya terlihat terampil saat mengambil potongan kol yang ada di mangkukku. "Nah, udah steril dari kol tuh. Cepat gih makan sebelum dingin sotonya."
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Romantizm[hiatus sementara tapi pasti di lanjut] Bagiku cinta tak lebih dari fragmen masa lalu yang harus dilupakan. Berhenti percaya tentang cinta adalah keputusan yg ku ambil setelah dicampakkan menjelang hari pernikahan. Begitu menyakitkan. Namun, mimpi u...