BAB 5 : HILANG ARAH

398 140 82
                                    

Radha POV

"Radha, kau tidak berangkat kerja, Nak?" Ucap Ibu yang berusaha membangunkanku.

Aku membuka mata dengan rasa malas dan menatap wajah ibu ku dengan rasa bersalah. Wanita dihadapan ku ini tidak tahu kalau aku sudah resign dari kantor lamaku. Keluarga masih menaruh harapan besar hidup mereka di tanganku. Aaah, Tuhan rasanya sekarang aku benar-benar ingin menangis lagi.

Aku menampilkan senyum pura-puraku. "Aku sedang tidak enak badan, Bu. Aku butuh istirahat. Aku sudah bilang bos ku kalau hari ini aku cuti setengah hari."

Ibu menatapku dengan cemas. Sepertinya dia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan diriku saat ini. Namun, dia sepertinya tahu bahwa aku juga sedang tidak mau dipaksa bercerita. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkanku di dalam kamar sendirian.

"Ah, God. Cobaan apa lagi ini?" Aku mengeluh pada diriku sendiri sambil menenggelamkan wajahku di dalam bantal. Mencoba menahan tangis yang hampir pecah.

Tiba-tiba saja aku teringat pada Ardhan. Dia pasti bisa membantu menyelesaikan masalahku sekarang. Aku segera mengambil ponsel dan menghubunginya.

"Halo, Ar?" Suara ku terdengar agak serak. Berharap Ardhan tidak menyadarinya.

"Iya. Kenapa Rad?"

"Apa hari ini kamu sibuk?"

Ardhan terdiam cukup lama "Ya. Ada meeting sampai malam. Kenapa?" Suaranya terhenti lagi,  "Are you okay?" Lanjutnya.

Ku akui Ardhan memanglah seorang bad boy tapi dia adalah juga seorang teman yang good boy.

Oh, Tuhan. Aku hanya akan mengganggunya hari ini, batinku dalam hati. Rasa bersalah tiba-tiba memenuhi perasaanku.

"Aku baik. Aku cuma mau bilang makasih udah ngehibur dan ngejagain aku kemarin." Ucapku bohong.

Tawa Ardhan terdengar renyah di telepon, "Radha, we are best friend. I will not leave you alone, baby."

"I know" Ucapku dengan nada rendah. Berharap Steven juga akan melakukan hal yang sama padaku. Namun sayangnya, itu hanya janji palsu semata.

"Oya, aku lagi nyetir, nanti aku hubungin kamu lagi ya. Kamu jangan lupa makan dan jangan coba-coba bunuh diri. Okey?"

Gurauan itu membuat ku merasakan pahit secara tiba-tiba, biasanya Steven yang mengingatkan ku supaya tidak lupa makan, "I will not promise. Bye" Ucapku lalu memutus sambungan ponsel. Sudah beberapa hari ini, aku berubah menjadi sangat melankolis dan mudah sensitive.

Belum kelar kesedihan ku karena teringat dengan Steven- Pria brengsek yang meninggalkanku di menjelang pernikahan, kini aku diingatkan kembali bahwa aku juga harus mencari pekerjaan baru untuk mencukupi kebutuhan keluargaku karena tabunganku hampir semua telah terpakai untuk persiapan pernikahan yang gagal itu. Damn!

Aku mengunjungi satu demi satu kantor yang berjejer di daerah Kemang tapi tidak satu pun yang membuka lowongan. Betisku sampai mati rasa sepertinya. Aku menghela nafas agak kencang. Frustasi. Benar-benar mengutuk ketololanku untuk resign kerja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku benar-benar tidak sanggup pulang dan menceritakan kenyataan yang sebenarnya kepada kedua orang tua perihal keadaan sebenarnya.

Aku menyandarkan tubuh pada dinding yang ada di dekatku. Aku melihat sangat banyak pasangan yang sedang memadu cinta disana. Aku juga mulai risih dengan tatapan beberapa pria hidung belang yang menatapku dengan tatapan yang seolah menelanjangiku. Kejadian barusan membuat aku semakin membenci laki-laki, mereka semua sama. Mereka semua hidung belang. Dan mereka semua hanya menginginkan wanita sebagai objek kepuasan. Aku sungguh menyesal pernah percaya kepada seorang laki-laki dan mempercayai bahwa masa depanku akan bahagia bersama mereka. Aku memberikan berbagai sumpah serapah dalam hati untuk mereka semua. Dan mulai detik dimana aku di campakkan, disitulah detik aku benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap cinta.

Aku membalikkan tubuhku dan melihat plang besar bertuliskan WISMA CINTA. Astaga, damn. Betapa tololnya aku yang tidak menyadari sebelumnya, bahwa tempat bersandarku kini adalah sebuah tempat portitusi.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan tempat nista ini. Hingga tiba-tiba ada sebuah tangan besar yang berusaha menarikku kedalam pelukannya.

"Lepaskan brengsek!" Ucapku sambil berusaha meronta.

Aku merasa tangan itu semakin kuat mencengkram tubuhku.

"Tenang. Gue akan bayar mahal berapa pun yang lo minta. Sekarang puasin gue." Ucap lelaki hidung belang itu disertai dengan bau alkohol yang tercium jelas.

Uang? Batin ku. Bukankah aku benar-benar sedang membutuhkan uang? Batinku lagi.

Pria kurang ajar itu memeluk pinggangku dari samping dan membawa ku memasuki tempat nista yang baru pertama kali ini aku masuki. Damn, aku benar-benar frustasi. Mungkin aku butuh dia untuk menghilangkan stress ku dan lagi pula aku juga sedang butuh uang. Aku hilang arah.

Kami berjalan ke arah meja bar yang berada tepat di tengah. Lelaki itu memesan dua gelas bir untuk kami. Aku terlihat ragu. Ini pertama kalinya bagiku untuk meminum bir. Bahkan membayangkannya saja membuat aku merasa mual dan jijik. Lelaki itu terus menggoda ku. Mulutnya tak berhenti mengucap kata kotor. Sumpah, rasanya aku ingin menyumpal mulut itu dengan sampah kalau aku tidak sedang membutuhkan uang.

Aku menarik nafas dalam lalu menghabiskan minuman bir itu dalam sekali tenggak. Padanganku berubah kabur, namun sepertinya aku melihat lelaki itu tersenyum nakal kearahku. Kepala ku pusing. Sangat pusing. Ku sandarkan kepala ku ke meja bar yang panjang itu. Aku memang kehilangan setengah kesadaranku tapi aku masih bisa merasakan bahwa ada sebuah tangan yang mencoba mengelus rambut dan wajahku. Tak lama kemudian aku merasa ada bibir yang mengecup kening ku. Aku tidak punya tenaga untuk menepisnya dan aku benar-benar pusing. Sangat pusing. Seketika semua benar-benar menjadi gelap.

----------------------------------------------
Hayoo, hayooo, tlg untuk yg di bawah umur bijak bijak ya dalam membaca terlebih untuk beberapa part ke depan, hehe :)  (walau menurut aku gak teralu "gerah" sih haha)

Happy reading guys 😊

12/06/2016

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang