Chanwoo

4.5K 350 13
                                    

Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya di malam ini. Rasanya perasaanku sudah campur aduk sejak aku bertemu dengan pemuda yang tengah berdiri angkuh -yang tampan- di pinggir trotoar sambil mengantungi kedua tangannya di saku jeans abu-abu dengan label terkenal dan cukup mahal itu. Kakinya yang terbalut sepatu yang keren itu tidak bisa diam -sedari tadi mengetuk-ngetuk permukaan jalan trotoar.

Dari jarak yang kubuat sedikit agak jauh dari tempatnya berpijak, sebenarnya aku sedari tadi terus memperhatikannya. Pakaiannya benar-benar cocok untuk tubuhnya yang tinggi dan proporsional. Itu dia yang membuatku minder hanya dengan berdiri di sebelahnya. Bahkan aku yang bisa dibilang cukup tinggi diantara teman-temanku hanya setinggi, mungkin, sehidungnya. Ia bertambah tinggi setelah sepuluh tahun aku tidak melihatnya.

Dinginnya malam tidak cukup untuk mengusir beberapa orang yang masih beraktivitas di distrik ini. Padahal ini sudah larut. Aku belum makan setetes pun dan sudah sangat lelah. Tapi lelaki ini menolak pulang dengan bus. Ia lebih memilih menunggu taksi. Aku tidak keberatan menemaninya karena ia yang membayar ongkos, tapi jangan menyesal jika aku tertidur di taksi. Kalau belum makan aku jadi mudah tertidur.

Tidak main-main dinginnya malam ini. Wajar karena ini memang sudah tengah malam dan aku hanya mengenakan seragam sekolahku dan sweater yang tidak terlalu tebal. Dan seragam terkutuk ini hanya mempunyai rok selutut, walau aku pakai stocking tapi tetap saja betisku yang sangat kurus ini terasa menggigil. Yah, aku memang mudah kedinginan.

Berbeda dengan pemuda menjulang itu. Dia enak ya, memakai kaos abu-abu, ditambah kemeja biru langit dan jaket yang cukup tebal. Setidaknya itu bisa menghangatkannya. Ah, rasanya aku ingin mencuri jaket tebal yang cantik dari toko di seberang sana.

"Ya! kenapa kau berdiri jauh sekali?" aku menoleh saat suara berat khas remaja menyapa pendengaranku, "sini, mendekatlah!" tangannya yang panjang itu melambai kearahku.

Mau tak mau aku menggeser pijakanku mendekat kearahnya. Jika sedekat ini rasanya perbedaan tinggi badan kentara sekali. Aku pun membuang muka dan lebih memilih untuk melihat kearah jalanan, menunggu kedatangan taksi.

Tiba-tiba saja hal yang tak terduga terjadi. Ia menyampirkan jaketnya di pundakku. Aku menoleh dan menatapnya membuatku sedikit mendongak.

"Kau pasti kedinginan hanya dengan sweater tipis itu, iya kan?" pemuda itu tersenyum, terlihat charming sekali dengan sikapnya barusan.

"Memangnya kau sendiri tidak akan kedinginan jika hanya memakai kemeja itu?" tanyaku tapi terus merapatkan jaketnya di badanku.

Yang ia lakukan hanya tersenyum lalu mengacak rambutku dengan lembut. Lengannya yang agak berotot itu langsung merangkul bahuku dan membawaku mendekat kearahnya.

"Karena aku yang mengajakmu menunggu taksi jadi aku tidak akan membiarkanmu mati membeku." Gumamnya, "ah, itu dia taksinya!"

Tangan kanannya melambai ke jalanan. Berusaha menarik perhatian supir taksi agar berhenti di depan kami. Sedangkan tangan kirinya kini sudah tak lagi merangkul bahuku dan malah menggenggam tangan kananku. "ayo,"

Ia mempersilakan aku untuk masuk terlebih dahulu, lalu ia ikut masuk setelahnya. Pemuda bersurai hitam itu tersenyum singkat sebelum menyebutkan tempat tujuan kami kepada pak supir. Ia kembali menoleh kearahku.

"Kau mengantuk? Kau bisa tidur di pundakku jika kau mau," heol? Memang kentara sekali ya?

"sini,"

Tangannya menarik kepalaku agar bersender di bahunya. Aku hanya terdiam, apa kami terlihat canggung? Aneh sekali rasanya bersandar di bahu seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ah, perasaan canggung ini, justru malah membuatku makin terjaga. Aku pun menegakkan badanku.

"Chanwoo," ia menoleh saat aku memanggilnya.

"Ya?"

"Apa terjadi sesuatu? Tidak biasanya kamu menjemputku."

"Karena kau tak kunjung pulang."

Aku terdiam.

"Sudah malam dan masih berkeliaran dengan seragam," Matanya yang bulat menatap lurus kearahku, "apa yang sedang kau lakukan? Mencari makanan atau menghindariku?"

Aku membuang mukaku dan lebih memilih melihat jalanan melalui jendela disisi kiriku. Chanwoo tersenyum dibelakangku.

"Jangan pernah mencoba menghindariku." Bisiknya di telinga kananku sebelum mengecup leherku, "karena kau tidak akan sanggup."

Tidak lama, taksi yang kami tumpangi menepi. Rumahku sekarang dalam keadaan gelap, kupikir kedua orangtuaku belum pulang. Apa yang telah aku lakukan mungkin tidak akan pernah bisa mereka pahami.

Setelah Chanwoo membayar ongkos perjalanan, taksi itu pun menjauh meninggalkan kami berdua. Chanwoo menatapku, seperti biasa, menerawang dalam mataku.

Jujur aku telah larut dan tenggelam di dasar iris coklat terang miliknya.

"Aku tidak sedang mencoba menghindarimu, karena aku tahu aku tak bisa," aku meraih tengkuknya lalu mencium bibirnya yang lembut.

Matanya terpenjam menyembunyikan iris indah yang telah menjeratku saat bibirnya menyambut ciumanku. Tangannya merengkuh pinggangku, sesekali meremas bokongku sembari memperdalam ciumannya. Tanganku hanya meremas rambutnya atau menempelengnya saat ia mulai menyentuh bokongku.

Ciuman kami berlangsung cukup lama, nafasnya naik turun, berbeda denganku yang tetap tenang dan stabil -tentu saja.

"Aku tidak ingin meninggalkanmu." Ucapnya sendu.

"Begitupun aku,"

"Mengapa kita berbeda, sayang?" Ia lagi lagi menciumi wajahku bertubi-tubi.

Kami hanya bertemu satu kali dalam sepuluh tahun, jadi sudah sepantasnya ia merindukanku. Seperti janji yang kami sepakati saat kami pertamakali bertemu dan jatuh cinta saat usiaku 27 tahun -Aku masih sangat muda saat itu. Kami berjanji akan memperjuangkan hubungan kami setelah pertemuan kami yang ke sepuluh.

"Sebentar lagi, Chanwoo. Kita harus menunggu sebentar lagi untuk kita berjuang bersama." Aku mengelus rambutnya yang berwarna keemasan.

"Satu kali pertemuan lagi, bukan?" Ia menatap bulan yang hampir purnama dilangit, sebelum kembali menciumiku.

"Tunggu sampai aku kembali," ia sudah menghilang sebelum aku dapat menjawabnya.

"Tentu. Setelah satu abad mencintai, bahkan perbedaan pun tidak akan bisa memisahkan kita."

Aku tidak menyangka bisa terjerat begitu dalam seperti ini, apalagi dengan serigala sepertinya.

End

Jeng jeng. Aneh? Weird? Ooc? Banget :(
Jorok deh imagine gua. Gapapa gua udh 17 tahun ini :( pasti ni part aneh bgt dan gak jelas, ini efek galau ikoncert tahei, gadapet izin emak gara2 penjualan tiket offlinenya pas bgt ukk h1:( mewek dah ini :(

iMAGINE iKON YukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang