The First Station - "Tears After The Day"

74.8K 7.6K 285
                                    

First Station

Suasana di kelas tampak begitu ramai dan padat seperti sebuah kelas pada umumnya. Aku merasakan gerah di siang yang panas dan heboh seperti ini. Apalagi saat aku dipaksa datang kemari oleh pihak sekolah untuk memeriksa nilai yang mungkin memerlukan perbaikan. Aku cukup yakin bahwa aku tidak akan terkena perbaikan, bukan karena aku pintar atau cerdas. Aku hanya merasa bahwa nilaiku akan berada di atas ketuntasan setelah usahaku belajar keras beberapa minggu sebelum ujian.

Semua orang yang berada di dalam kelas tampak heboh memperbincangkan rencana yang akan dilakukan nantinya. Beberapa di antara mereka sudah saling memberi masukan dan saling menerima sebelum akhirnya mereka bertepuk tangan dengan keras.

Kuperhatikan jam yang tergantung di atas papan tulis. Masih ada lima belas menit sebelum walikelas datang dan mengumumkan nama-nama siswa yang memerlukan perbaikan.

Kulihat ketua kelas maju di depan papan tulis, mengambil kapur dari tempat kapur dan segera menggoreskan kapur di atas papan tulis. Dia bahkan sempat menghias satu persatu huruf yang ditulisnya, membuat beberapa murid berdecak kesal dan melemparkan kapur kepadanya, entah memintanya untuk segera menyelesaikan kegiatannya atau menghentikannya.

Tulisan itu membuatku langsung tidak berminat memperhatikan mereka.

'New Year Eve'.

"Oke, jadi kita bakal kumpul di rumahnya Vito. Jam tujuh sampai jam sebelas buat makan-makannya, dan sebelum kembang api dinyalakan jam duabelas, kita bisa ngadain uji nyali di hutan dekat rumahnya." Yusuf mengatakan persepakatannya. "Entar nona sekretaris kita bakal nagih uang iuran buat makanannya." Yusuf melirik Putri dengan cengiran khas-nya.

Putri berdengus sebelum menyampaikan kata-kata di depan kelas.

"Jadi sebelum kita milih menu kita buat acara nanti secara voting, siapa yang mau ngasih ide?"

Kulihat pemuda di pojokan menunjuk tangan, dan otomatis semua orang melirik pemuda yang berisi itu.

"Aih, jangan si Rakus," rintih Devina sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan kirinya, seolah dia perihatin dengan apa yang akan terjadi nanti.

Si Rakus yang sebenarnya bernama Frendy itu hanya bisa memberi cengiran.

"Aku mau ngasih saran. Dikit doang, kok."

Semua orang menatapnya curiga.

"Ayam panggang, jagung bakar, Ikan bakar, kentang goreng, sosis panggang, Popcorn-"

"Oke, ada yang lain?" Putri memotong dan mencatatnya cepat-cepat sebelum menu-menu itu bertambah banyak dan membuat target uang iuran membengkak nantinya.

Tidak ada yang merespon, tanda semua saran yang diberikan Frendy sudah hampir semua dari isi pikiran mereka.

"Nah, menunya segini cukup ya? Sekarang, siapa yang nggak bisa ikutan?"

Aku menunjuk tanganku, membuat semua orang berbalik hanya untuk sekedar melihat ekspresiku.

"Mengapa, Ra?" Putri bertanya sambil menautkan alisnya bingung. "Acaranya nggak bakal lama kok. Kamu juga boleh pulang cepet kalau memang kamu mau."

Aku menggelengkan kepalaku, tetap pada keputusanku sendiri.

"Kamu ngerayain ulangtahunmu bareng keluargamu lagi?"

Sebenarnya kata-kata itu benar-benar menohok diriku. Sebab, alasan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Meskipun aku mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka, aku masih kurang yakin bahwa mereka akan mengerti.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang