The Thirteenth Station - "The Second Entrance"

33.3K 5.1K 177
                                    

Aku merasa canggung.

Dengan celana jeans dan kaos oblong bewarna putih dilapisi jaket hitam yang kukenakan. Sementara semua orang di sekitarku termasuk Gracia memakai dress santai diantara lutut atas dan bawah.

Ugh, coba saja aku mendengarkan tadi.

Aku tidak tahu kalau mereka memilih dress santai sebagai pakaian wajib yang dipakai untuk menonton bintang jatuh nanti. Sementara, aku memakai baju casual yang jauh dari kata 'mirip'.

Aku benar-benar ingin pulang, ugh.

Kami berkumpul di rumah Runa, dan saat ini berada di teras rumah sambil memakan makanan yang dibawa oleh setiap orang, menunggu kedatangan hujan bintang yang akan lewat diperkirakan sekitar setengah jam lagi.

Sebenarnya, mereka ingin bermain kembang api dan menyalakan lampion sisa tahun baru. Tapi, semuanya sepakat untuk tidak menyalakannya terlebih dahulu sebelum hujan bintang selesai. Pemandangan langit malam tentu akan tertutupi kabut jika kami bermain kembang api, kan?

"Ngga papa, Ra. Santai aja." Putri dan Sarah menepuk pundakku, ingin menyemangatiku.

Kurasa, saat foto bersama nanti, aku akan menyerahkan diri menjadi fotografernya, serius.

"Iya, aku ngga papa, kok."

Dasar, mulut dan hati yang tidak sinkron.

"Kita di sini buat refreshing, have fun aja. Kita tunggu hujan meteornya datang," ujar Gracia antusias.

Saat mereka tengah asyik mengobrol tentang kakak kelas kami yang merupakan pemain basket handal di kota kecil itu, pikiranku melayang-layang memikirkan apa yang harus kulakukan saat melihat kereta api itu lagi.

Mengapa pemuda yang bernama Aetherd itu meminta bantuan kepadaku?

Masih berpikir-pikir tentang apa yang harus kulakukan untuk membantunya, membuatku makin tidak nyaman berada di antara lingkaran obrol itu. Makin tidak nyaman sampai akhirnya aku memutar tubuhku membelakangi mereka semua, sambil memegang kepalaku dan berpikir keras.

Apa yang bisa kulakukan?

"Ra?"

Ragaku kembali saat kudengar suara Gracia menegurku. Saat aku berbalik, semua orang sudah menatapku heran. Detik berikutnya, mereka tampak semangat kembali.

"Tyara, kamu lagi mikirin cowok, ya?"

Aku tersentak, aku berpikir lagi, aku memang berpikir tentang pemuda itu, tapi hal yang kupikirkan tidak seperti yang mereka kira. Tak merasa kalimat yang ditanyakan oleh mereka bernilai salah, akhirnya aku menganggukan kepalaku.

"Serius?! Kok kamu nggak pernah cerita ke aku?" Gracia nampak cemberut.

"Orang kamu-nya nggak pernah nanya," jawabku dengan santainya.

"Kamu-nya selalu jawab 'Nggak papa' kalau ditanya," cibir Gracia. "Tapi..., sejak kapan, Ra?"

Aku berpikir sejenak, mulai menghitung-hitung sejak kapan kereta api itu muncul dihadapanku. Saat berhasil mengingatnya, aku mengulas senyum tipis yang begitu pahit, namun berhasil kusembunyikan, semoga.

"Kelas tujuh semester dua, mungkin?"

Yah, saat dimana Kakek dan Nenek meninggalkanku. Tidak mungkin aku bisa merupakan saat-saat itu. Terlalu menyakitkan untukku.

"Wah! Sudah lama juga yah!" Putri nampak antusias.

"Apa dia sekelas dengan kita? Apa kami mengenalnya?"

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang