Gracia masih berpegang teguh untuk mendalami bukunya dan memegang bolpen berhiaskan Hello Kitty itu. Keningnya mengerut, tatapannya sesekali berubah cepat dan tanpa disadarinya, digigitnya hiasan di bolpennya, yang membuat kepala Hello Kitty itu menjadi korbannya.
Bukan, Gracia bukan sedang belajar atau sedang menyusun rencana untuk laporan yang akan dikumpulkan minggu depan. Dia sedang membuat kerangka karangan untuk cerita karangannya yang dibuat sendiri dan dipubliskan di sosial media-nya.
"Ra." Dia mencolek bahuku dengan bolpennya itu, membuatku refleks meringis jijik dan menjauhkan tubuhku dari bolpen itu. "Menurutmu, karakter seorang pemeran utama-nya lebih bagus bagaimana?"
"Yah, tergantung genre cerita yang kamu lagi buat," jawabku sambil melirik buku karya yang dituliskannya hampir sejam. Tak kusangka dia hanya menulis dua kata disana.
Kind / Rude.
"Katanya mau buat kerangka karangan?"
Gracia lagi-lagi dengan kurang ajarnya memukul punggung tanganku dengan bolpennya, membuatku hampir merebut bolpen itu dan melemparkannya jauh-jauh dariku.
"Kan setiap orang beda-beda, Ra." Gracia meringis. "Memang, kebanyakan orang itu bikin kerangka karangannya dulu, baru nentuin karakter tokoh utamanya. Tapi aku ngerasa kayak ..., aku bakalan fail kalau aku nggak mendalami tokohnya sejak awal. Jadi mending aku susun aja dulu nama tokohnya sama sifatnya."
Aku kurang mengerti apa yang disampaikan Gracia, sebenarnya. Tapi daripada dia terus memaksaku mendengar ceritanya nanti?
"Oke, terserahmu." Aku berpikir-pikir sejenak. "Kamu penulis cerita roman, kan? Maaf. Kamu salah orang kalau nanya tentang itu."
Baru saja hendak meninggalkan kantin dan meninggalkan Gracia, dia buru-buru menarik ujung seragamku dan menatapku penuh harap.
"Kali ini aku nulis fantasy. Please, help."
Aku berdengus, lalu memutuskan duduk kembali di bangku panjang itu. Kurasa keputusanku begitu bodoh sampai aku menyesalinya.
"Kamu tahu kan, Gracia? Aku ini paling nggak bisa berimajinasi di fantasi. Ngebaca cerita fantasi, halaman ketiga saja aku nyaris mati bosan."
Gracia menjawabku dengan datar. "Itu karena kamu kurang mendalami cerita. Coba saja kamu dalamin cerita itu dan beranggapan kalau pemeran utamanya adalah kamu, atau munculin bayangan tulisan yang kamu baca. Ugh, kamu bakal ketagihan!"
Aku memutar bola mataku jengkel. "Apa semua penulis dan pembaca bertipe sama sepertimu?"
"Kurang-lebih." Gracia memamerkan giginya. "Ugh, Come on, Ra. Kasih aku satu topik dan aku bakal nyoba buat kembangin topik itu sampai mekar, deh. Just help me, please. Otakku nggak sanggup mikir jauh."
"Kalau nggak nyampe, yah jangan bikin," balasku kesal.
Gracia mengerucutkan bibirnya. "Kamu ini. Sesekali kamu harus mikir kalau kejadian fantasi dan hebat itu benar-benar ada."
Aku memikirkan ucapannya sampai aku teringat pada keberadaan kereta api itu. Namun segera kutepiskan dengan cepat.
"Realistis, Cia."
Gracia berdiri dari bangku, menatapku kesal dan menghentakan kakinya sebelum meninggalkanku sendiri di kursi panjang itu.
"Makan tuh elastis."
Dia pergi, meninggalkanku dengan mulut menganga dan pikiran kosong yang kebingungan.
"Kok bisa yah, tuh anak jadi penulis? Elastis sama realistis aja dia gagal paham."
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...