[Tunnel - Terowongan]
Gelap.
"Kepada para penumpang Kereta Api yang terhormat...."
"...Saat ini kereta api berada di dalam terowongan, diharapkan untuk tetap duduk di kursi penumpang. Bila anda memerlukan bantuan, harap melapor pada petugas kami...."
...Eh?
"Ujung terowongan ini tidak pernah dapat diperkirakan oleh siapapun. Karena itu, harap tetap duduk di tempat. Kereta api akan melaju cepat untuk mencapai ujung secepat mungkin...."
Akupun memutuskan untuk duduk di salah satu kursi penumpang yang tersedia, memperhatikan kiri-kanan. Orang-orang di sekelilingku memakai pakaian berwarna putih dan duduk sambil memegang sebuah karcis berwarna emas dengan tulisan perak. Wajah mereka semua tak menampakan ekspresi yang menyenangkan. Semuanya menatap di satu arah yang berbeda dengan pandangan kosong.
Aku sendiri, memperhatikan baju putih yang melekat di tubuhku. Lengan bajunya cukup panjang sampai aku tak bisa melihat jari-jariku sendiri. Saat aku menarik lengan bajunya sedikit ke atas, aku bisa melihat jari-jariku juga menggenggam selembar karcis yang sama dengan nomor 7.
Aku bingung, darimana aku mendapatkannya?
Baru saja aku memikirkan hal itu, semua tubuh penumpang yang ada di dalam kereta api miring dengan begitu tajam. Tak dapat ditebak seberapa cepatnya kereta api melaju. Semua orang di dalam kereta api terlihat tenang, masih dengan posisi duduk yang tak sedikitpun terlihat tidak nyaman.
Sedangkan aku, rasanya tubuhku tak sanggup menahan berat badanku sendiri. Aku berbalik hanya untuk melihat keadaan di luar yang gelap.
Sekelilingku hening.
Rasanya waktu berjalan, namun tak pernah terasa lewat dengan dominan.
Kadang kepalaku berdenyut, kemudian isinya terasa berputar-putar. Kadang pula, keadaannya kembali seperti semula, membuatku bisa mengingat semua hal dengan begitu jernih.
Semua kenangan itu.
Kenangan-kenangan buruk, mengharukan, indah dan juga menyedihkan.
Semua gambaran, suara, dan pergerakan itu terasa lambat, namun begitu jelas.
"...Huh?"
Aku menoleh kembali ke depan, tak lagi melihat ke luar jendela. Telingaku menangkap suara Tante Nirmala di depanku, dan itu membuatku melihat ke arah wanita di seberangku. Aku bisa yakin bahwa wanita itu benar-benar mengeluarkan suaranya, sebab kini semua orang dalam kereta api itu menoleh ke arahnya.
Keadaannya sama seperti yang lainnya—memakai pakaian putih dan memegang karcis—sejenak aku tak bisa mengingat wajahnya,karena wajahnya yang pucat dan rambut hitamnya yang biasa dibuat semenarik mungkin itu, tidak tampak mencolok seperti biasanya. Itu membuatku sedikit asing dengannya dan hampir tak mengenalinya.
Kini matanya melotot menatapku, lampu-lampu yang ada di atas kepalanya membuatnya terlihat begitu menakutkan. Bahkan semarah apapun Tante Nirmala padaku, dulu, dia tak pernah terlihat begitu mengerikan seperti ini.
"Kenapa kamu naik kereta api ini?!" tanyanya dengan begitu emosi. Dirinya bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. Dia berdiri di depanku yang sedang duduk, sehingga membuatku harus mendongkak menatapnya.
Nyaliku yang memang menciut, semakin menciut. "T-tapi Tante juga naik kereta api yang sama...."
Aku menebak bahwa Tante Nirmala memarahiku karena aku naik kereta api seorang diri. Tanpa orang yang kukenal, tanpa orangtua yang mengawasiku, sebab kini dia terlihat begitu marah. Persepsiku mengenai diriku, Keponakan yang paling dibenci oleh Tante Nirmala, pun terbukti begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...