[A Stop - Pemberhentian]
Aku bermimpi... melihat sosokku tengah tertidur di ruangan yang sangat terang.
Itu mimpi yang indah, menurutku.
Sebab di sana, Mama dan Papa menangis untukku.
Tapi mimpi itu hanya berlangsung sangat singkat.
Saat sadar, aku sudah berada di dalam kereta api.
Kereta api itu dipenuhi oleh orang-orang berpakaian putih, masing-masing memegang sebuah karcis di tangannya. Aku memperhatikan diriku sendiri, aku memakai pakaian putih dengan lengan yang sangat panjang, sampai-sampai jari tanganku tak terlihat sama sekali. Begitu aku menarik lengan bajuku ke atas, aku bisa melihat tanganku juga memegang karcis berwarna emas dengan tulisan perak.
Ada lampu yang terang dipasang tepat di atas kepala kami. Aku masih bisa melihat wajah orang-orang itu meskipun keadaan di luar sangatlah gelap.
Semuanya berpandangan kosong.
"...Kepada para penumpang kereta api yang terhormat..."
"...Saat ini kereta api berada di dalam terowongan, diharapkan untuk tetap duduk di kursi penumpang. Bila anda memerlukan bantuan, harap melapor para petugas kami..."
Entahlah, rasanya aku sudah mendengarkan kalimat itu berulang kali.
Tapi ..., kapan?
"Ujung terowongan ini tidak pernah dapat di perkirakan oleh siapapun. Karena itu, harap tetap duduk di tempat. Kereta api akan melaju cepat untuk mencapai ujung secepat mungkin...."
Semua tubuh penumpang yang ada di dalam kereta api miring dengan begitu tajam. Tak dapat ditebak seberapa cepatnya kereta api melaju. Semua orang di dalam kereta api tetap terlihat tenang, meskipun posisi duduknya tak terlihat nyaman.
Aku memperhatikan sekelilingku.
Di depanku, seseorang memperhatikanku dengan begitu dalamnya. Aku mengerjapkan mataku saat menyadari hanya wajahnya saja yang tak menunjukan pandangan kosong itu.
Dan dia ...,
"...Tante Nirmala?"
"Stt," Dia mengancungkan jari telunjuknya di depan bibir. "Diamlah, Tyara. Aku tidak ingin kejadian ini terjadi berulang-ulang karena kita ketahuan menyadari ini."
Maka aku terdiam.
Persepsi mengenai diriku, Keponakan yang paling dibenci oleh Tante Nirmala, pun terbukti begitu saja. Tante Nirmala masih membenciku hingga saat ini.
Tante Nirmala hanya diam menatapku dari seberang. Ada banyak pertanyaan di pikiranku, yang kurasa tidak akan dijawab jika kami berada dalam situasi ini.
Lengkingan terdengar memekakan telinga, detik berikutnya melodi itu berputar seolah memutar pikiranku untuk tenang.
"Kepada para penumpang kereta api yang terhormat..."
"...Petugas kami akan memeriksa karcis, diharapkan untuk tetap tenang..."
Pintu di ujung sana terbuka. Aku bisa merasakan betapa jauhnya jarak ujung sana dengan tempatku. Karcis benar-benar diperiksa, aku bisa melihat beberapa orang berpakaian hitam mulai berdiri di depan orang-orang, benar-benar memeriksa karcisnya.
Aku memperhatikan karcisku dengan sedikit ragu, ini karcis siapa ya? Karena setahuku dalam waktu dekat ini, aku tak membeli karcis kereta api ke tujuan manapun.
Orang-orang yang berpakaian hitam--yang kuyakini sebagai petugas--terus saja membacakan nomor ribuan setelah melihat karcis, lalu mengembalikannya kembali kepada pemilik karcis dan menggelengkan kepala mereka.
"Lima ribu tiga ratus lima puluh sembilan."
"Tujuh ribu sebelas."
Itu harga tiketnya atau apa?
Selanjutnya, petugas itu memeriksa karcis Tante Nirmala. Hanya butuh dua detik baginya untuk melihat, sebelum bergumam, "seratus tigabelas," dan mengembalikannya kembali ke tante Nirmala sambil menggelengkan kepala.
Tubuhku menegang saat petugas itu berbalik ke belakang dan mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku secepat kilat memberikan karcisku padanya.
"Sembilan puluh tujuh."
Dia tertegun.
"Hei, aku menemukannya!" seru petugas di depanku sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah petugas lain. "Dia ada di sini."
Aku panik saat mereka semua melangkah ke arahku.
"...Ayo ikut kami, pemberhentianmu telah sampai."
Aku kebingungan, tapi aku tetap berdiri. "Pemberhentian? Dimana?"
"Pokoknya sudah sampai," balas mereka dingin.
Aku memperhatikan manik mata Tante Nirmala, hendak mempertanyakan pertanyaan dalam benakku, tapi belum lagi aku membuka mulut, melodi dan lengkingan itu terdengar kembali.
"Cepat!"
Aku menatap Tante Nirmala sebelum melangkah mengikuti mereka. Tapi tatapan Tante Nirmala telah berubah lagi.
Dia terlihat bingung.
"Kau akan menyesal kalau tak turun sekarang," ucap petugas-petugas itu dengan garang.
...dan aku melihatnya.
Aku di dorong keluar dari kereta.
Gelap.
Semuanya gelap.
Tapi sebelum kesadaranku habis, pikiran itu terus berputar-putar di kepalaku.
Nomor karcis Tante Nirmala berubah menjadi 114.
***TBC***
1 September 2016, Kamis.
Cindyana's Note
Boros amat ya, sampai make dua chapter buat masalah ini?
Next chapter udah chapter 17 yak. Asli, ga bohong, boros amat saya, haha.
cindyana
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...