Acara perpisahan kemarin sore berlangsung khidmat. Acara itu adalah acara yang menandakan bahwa semua murid angkatan kelas sembilan tahun ini telah lepas sepenuhnya dari sekolah. Status 'murid' berganti dengan status 'alumni', meskipun aku tidak tahu apakah masih ada yang melanjutkan SMA-nya di sana. Langit cerah, semuanya masih berkumpul dengan sehat, dan semua kenangan itu disimpan dalam sebuah video recorder yang rencananya akan diputar kembali saat reuni nanti.
Aku memperhatikan kebaya emas yang kukenakan kemarin. Aku menyewanya dari sebuah toko yang tidak jauh dari rumahku, toko yang memang memberikan jasa pinjaman kebaya.
Kemarin kami sekelas yang putri, menjadikan kebaya sebagai pakaian formal kelas kami. Semua rambut kami disanggul ke atas. Kami sempat memotretnya, membekukannya dalam sebuah foto, menjadikannya kenangan untuk selamanya.
Ada sesuatu yang membuatku begitu sakit kemarin. Kedua orangtuaku tidak mendatangi acara perpisahan. Memang, acara itu bukanlah acara yang wajib dihadiri oleh orangtua sekalian. Lucunya, semua orangtua datang, terkecuali Papa dan Mama.
Lucu.
Acara yang memang seharusnya adalah acara yang menghantarkan perpisahan juang, menjadi acara yang begitu menyakitkan.
*
Aku berhenti berlari saat berada di depan sebuah toko buku yang mempunyai peneduh, tepatnya, tempat terdekat yang dapat kutemui di hari hujan deras begini.
Jujur, aku menyesal tidak membawa payung sesuai dengan yang diingatkan oleh Gracia di telepon tadi. Padahal, langit begitu gelap, para awan berwarna kelam suram dan matahari tak diizinkan untuk bertemu dengan bumi.
Ada banyak orang yang berteduh di sini, sebuah kendaraanpun tak tampak di jalanan seperti biasanya, saking derasnya hujan. Ada beberapa orang yang berlagak tak peduli, dia tetap saja membaca bukunya, tanpa takut bukunya terkena air hujan.
"Tyara?"
Aku pun menoleh, dan mendapati Riryn tengah menatapku dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia membawa plastik putih yang berisikan buku, tampaknya dia baru saja keluar dari toko buku itu tersebut.
"Kamu ngapain disini?"
Aku tersenyum saat dia mendekat. "Numpang teduh," jawabku.
Riryn mengulurkan tangannya kepadaku dan menatapku galak. "Pajaknya, seribu rupiah per menit!"
Aku hampir menyemburkan tawaku jika aku tidak menahannya dengan sepenuh hati. "Aku baru teduh kok, belum semenit malah."
Riryn langsung gelagapan. "Aku cuman bercanda kok, jangan dibawa serius, apalagi ke hati. Nanti kamu baper, lho."
"Apa-apaan itu?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Aih, kamu ini..." Riryn pun berdiri di sampingku. "Eh, Ra. Aku denger-denger, kamu dan Alenna baru selesai UN ya?"
Keningku makin berkerut mendengar itu. "Uhm, iya." Hanya aku dan Alenna? Berarti sisanya berbeda?
Seolah mendengar pertanyaan dalam benakku, Riryn berkata, "Aku, Clay sama Metta SMA satu otewe dua!"
Aku pun ber-oh ria.
"Aih, Bunda bakal marah lagi deh, lihat aku basah kuyup lagi hari ini, huuu." Riryn mengerucutkan bibirnya.
Riryn..., beruntung yah?
Aku tahu semua orang punya masalah. Tergantung bagaimana mereka menerima dan menghadapi masalah itu. Bukannya aku ingin mengatakan bahwa Riryn tidak punya masalah. Tapi seandainya dia punya masalah sekarang, dan dia masih bisa tertawa seperti itu...,
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...