The Twelfth Station - "The Second Message"

35K 4.9K 312
                                    

Di bawah senja yang hangat, aku mengenggam salah satu buku pemberian mendiang Kakekku. Salah satu buku favorite-ku saat kecil, Emily dan Anjing Liar dengan cover seorang perempuan berpakaian dress biru muda dan seekor anjing coklat. Saat hendak membukanya, aku mendengar suara derap kaki mendekat.

Bayangan orang itu menutupi matahari sore, menutupi buku-buku yang hendak kubaca.

Aku menatap orang yang datang, seorang pemuda bermata biru datang mendekat. Mata birunya tampak begitu berkilau indah meskipun dia tengah memunggungi matahari.

"Aeth...?" Aku berdiri, menatapnya bingung. "Mengapa kamu bisa ada di sini?"

Pemuda itu menggeleng, dia memberikan sebuah kertas berwarna biru muda. Aku mengulurkan tanganku, menerima kertas yang diberikan padaku itu. Baru sedetik aku menunduk menatap kertas biru itu, sebelum akhirnya aku mengangkat kepalaku dan mendapati pemuda itu menghilang bersama angin.

"Aeth-er?"

Aku menengok kiri-kanan, namun tidak dapat menemukan Aetherd. Segera kulihat kertas biru muda itu, rupanya kertas itu memiliki pesan. Tapi, saat hendak membacanya, aku tidak mampu menyuarakan suaraku dengan lancar seperti biasanya.

"Un-tuk..., Ya-ang me-"

Aku panik, mengapa aku bisa kehilangan kemampuanku dalam membaca? Aku melihat huruf-huruf itu, mencoba menyuarakannya ulang, tapi lagi-lagi gagal. Apa yang kulafalkan benar-benar sulit, padahal biasanya aku dapat menyuarakannya dengan cepat.

Bagaimana ini? Bagaimana ini?

Saat itu juga, seisi dunia menggelap. Tidak ada lagi langit senja, matahari sore berwarna jingga yang menyinari tempat itu. Tempat itu gelap, sangat gelap.

Detik berikutnya, saat membuka mataku, aku sudah kembali di kamarku.

Ah, rupanya hanya mimpi.

Aku berjalan ke arah meja belajar, membuka salah satu buku pelajaran dan mencoba membacanya.

Syukurlah aku masih bisa membaca.

Tapi, aku menyayangkan dalam hati, karena aku sama sekali tidak mengingat satu hurufpun yang ada di kertas dalam mimpiku meskipun aku telah melototinya sedaritadi.

Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibingungkan dalam hal ini. Aku pernah membaca buku psikologi saat hendak memastikan keadaanku jika melihat benda yang hanya bisa dilihat olehku seorang, sayangnya buku itu mengatakan bahwa aku hanya lelah dan kurang tidur sehingga menyebabkan aku berhalusinasi berlebihan.

Dalam buku psikologi itu, juga menjelaskan bahwa, di dalam dunia mimpi, kita tidak akan bisa membaca. Sebab saat bermimpi, otak kanan kita yang bekerja, dan otak kiri kita beristirahat. Kalaupun bisa membaca, kemungkinan besar pemimpi hanya bisa mengingat beberapa kata saja.

Kuperhatikan jam, dan betapa paniknya aku saat mengetahui bahwa waktu telah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Segera saja aku berlari ke kamar mandi, setelahnya menyambar tas dan buru-buru ke sekolah tanpa sarapan.

*

Kelas tampak gaduh seperti biasanya. Apalagi, saat mereka bernyanyi riang mengingat guru Matematika kami yang tidak masuk pada hari ini. Hebatnya pula, tak ada guru pengganti. Kelas seperti baru saja merdeka dari sebuah penjajahan panjang.

"Tapi kan..., bentar lagi kita mau UN. Masak kita main-main sih, di sini?" Yusuf selaku ketua kelas mencoba bijak dengan memperingatkan kami.

Tapi, tak ada yang mendengarkan perkataannya.

Yah, orang-orang dikelasku memang suka lupa diri kalau sudah ada yang namanya Free Time, tidak ada yang tahu apa yang bisa mengalahkan suara-suara heboh seperti ini.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang