The Fourth Station - "Passenger"

39.9K 5.9K 201
                                    

Bukan ide yang baik menurutku, menerima tawaran Gracia untuk menginap di rumahnya malam ini. Alasannya cukup lucu, Gracia mengatakan bahwa ayah dan ibunya sedang keluar kota dan dia kesepian.

Tentu saja aku menimang-nimang dulu sebelum menerima tawarannya beberapa menit yang lalu. Meninggalkan Bi Erni, Pak Nino dan Mas Acep di rumah. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin aku membutuhkannya.

Beberapa hari ini, aku kerap mendengar suara kereta api itu di tengah malam. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang kupikirkan sampai suara kerepa api itu terus saja meneror pikiranku akhir-akhir ini. Yang jelas, aku tahu pasti disaat aku tidak membayangkan kehadiran kereta api itu, kereta itu datang memamerkan suaranya.

Dan yang terpenting, aku sampai tidak bisa mempercayai omongan Mama kalau itu hanyalah sekedar imajinasi belaka.

Jadilah, aku menerima tawaran Gracia untuk menginap hanya untuk menghindari suara kereta api itu. Atau aku bisa gila karena kelamaan mendengar suara itu.

"Aku pengen ajak cewek-cewek sekelas. Tapi kayaknya banyak yang nggak bisa, deh."

Aku menekuk alisku bingung. "Kenapa?"

"Karena malam ini malam minggu."

Gracia nampak geram sendiri dengan ucapakan yang dikatakannya. Entahlah, hanya perasaanku atau orang jaman sekarang begitu sensi dengan hubungan pacaran yang membuat mereka nampak ingin mengigit bantal atau menghilangkan para pasangan dimuka bumi ini.

"Coba aja dulu." Aku menyarankan.

"Nggak usah ah. Udah ada kamu cukup, kok." Gracia mengedipkan matanya genit, membuatku bergidik jijik.

"Jangan buat aku jijik atau nggak jadi."

Gracia cepat-cepat mengangguk serius. "Iya, iya."

*

Kutekan nomor-nomor yang sudah kuhafal diluar kepala dengan gugup yang menyerangku dengan begitu heboh. Aku bahkan tanpa sadar menghitung berapa kali suara 'tuut' tanda telepon sedang disambung. Totalnya ada lima sampai orang yang ditelepon mengangkat.

"Halo?"

"Ha-halo, ma."

"Ra? Sudah makan?"

Aku melirik jam yang baru saja menunjukan pukul enam. Aku tidak tahu dimana Mama sekarang sampai sudah menanyakan jam makanku.

"Belum," jawabku.

Terdengar suara helaan nafas di seberang sana. "Jangan kemalaman makannya, yah."

Aku mengangguk. "Iya, ma." Selanjutnya aku memikirkan alasanku menelepon tadi. "Ma, boleh nggak Tyara nginap di rumahnya Gracia?"

Aku mengigit bibir bawahku menunggu jawaban.

Hening...masih itulah yang terdengar meskipun sudah lima detik aku menunggu jawabannya. Hingga akhirnya jawaban itu terdengar dari seberang sana.

"Tidak boleh."

Aku langsung menghela nafas kecewa saat mendengarkan tuturannya yang terdengar tegas.

"Oke, Tyara nggak bakal nginap."

"Bagus." Beberapa detik kemudian dia menutup teleponnya.

Saat itu juga, aku mematung dalam keadaan berdiri sambil tetap mendengarkan telepon itu tanpa mengubah jarak telingaku dengannya sedikitpun. Beberapa saat kemudian, kutatap telepon itu dengan penuh pertanyaan.

Nafasku sesak, tenggorokanku menyempit, suaraku enggan keluar.

Ini menyakitkan.

Mataku memanas, terasa penuh, terasa sesuatu yang basah mulai muncul di sudut mataku.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang