The Eighth Station
Sudah hampir tigapuluh menit aku menatap selembar kertas berwarna biru yang berada di genggamanku. Hanya sebuah kertas dengan tulisan disana, bahkan aku sudah menyimpan secarik kertas itu nyaris tiga minggu.
Aku hanya bingung dengan apa yang ada di tulisan itu.
Aetherd.
Aku sama sekali tidak tahu apa arti dari kertas yang kugenggam ini. Aku sudah bertemu dengan kereta api itu sekali setelah kereta api itu menjatuhkan kertas ini di tanah, tetapi aku tidak punya kesempatan untuk bertanya. Bahkan kereta itu sama sekali tidak berhenti.
Kuakui, aku memang kurang suka dengan suara kereta api yang terus saja bermunculan ditengah lelapnya tidurku. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri bahwa kini aku memang sedang penasaran berat dengan keberadaan kereta api itu.
Mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?
Mengapa hanya aku yang bisa mendengarnya?
Aku mendekatkan kertas biru itu ke indera penciumanku. Ada sebuah bau khas yang dapat kucium disana.
Oli.
Lelah berpikir, aku pun memutuskan untuk beristirahat. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Sebenarnya bukan masalah untukku tidur selarut ini. Besok adalah hari sabtu di mana kegiatan ajar-mengajar diliburkan. Lagipula, aku memang terlalu sering tidur larut karena suara kereta api itu selalu membangunkanku tengah malam.
Sesaat, tubuhku terasa begitu rileks saat kepalaku menyentuh bantal empuk di atas tempat tidurku. Namun tiba-tiba hatiku kembali merasakan gundah, membuat keadaan yang seharusnya nyaman ini menjadi gelisah.
Aku bangkit dari tiduranku dan berjalan ke arah balkon kamarku, membukanya dan menghirup nafas dalam-dalam begitu angin malam yang mengigit menyapa kulit lenganku, membuatku menggigil tanpa sadar.
Kuratapi rembulan yang hanya menunjukan setengah dirinya, yang langsung dapat kulihat begitu aku keluar dari kamarku, seperti menyapaku, membuatku tersenyum tanpa sadar.
Jalan di sekitar komplek rumahku tampak sepi seperti hari-hari biasanya. Apalagi sekarang sudah malam segini.
Aku pun memutuskan masuk setelah tubuhku merinding dan aku mulai tidak tahan dengan dinginnya angin malam. Begitu tubuhku menyentuh kasurku, alam bawah sadarku langsung membawaku ke dunia mimpi.
.
.
"Apa hadiah yang paling kamu inginkan?"
Kudongakan kepalaku menatap suara yang selama ini kubanggakan. Aku tersenyum dan dibalasnya senyumanku dengan senyuman hangat.
"Kakek?"
Aku memeluknya, dan beliau melontarkan kalimat yang membuatku begitu nyaman.
"Katakan apa hadiah yang paling kamu inginkan, Tyara."
Aku menatap ke atas langit dan memikirkan jawabanku. Setelah menemukan apa yang kuinginkan, aku tersenyum riang dan bertanya.
"Apa aku boleh meminta keajaiban, Kek?"
"Kamu tidak boleh memintanya. Kakek tidak bisa membuat keajaiban untukmu."
Mendengar jawaban itu, aku langsung menunduk kecewa.
"Tyara."
Aku mengangkat kepalaku menatap Kakek. Beliau tersenyum hangat, lalu menepuk bahuku dan menunduk sembari membisikan sebuah kalimat yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...