Sejak kemarin, aku tidak bisa berhenti berpikir.
Aku terus saja teringat dengan sosok pemuda yang kulihat di ruang terapi kemarin. Pemuda yang kuyakini adalah Aetherd. Mereka punya wajah dan bola mata yang sama, dan bahkan nama yang sama.
Aku tidak mungkin salah mengenali orang, terlebih lagi orang itu hampir muncul terus menerus selama ini dan waktu-waktu tertentu.
Kemarin, setelah kejadian di ruang terapi itu, Papa dan Mama tidak lagi berkata apa-apa. Mereka terbungkam, wajah mereka lebih pucat pasi dibandingkanku. Itu membuatku merasa lega karena sempat mengungkapkan apa yang ada di pikiranku sebelum kami bertemu seperti ini. Mungkin dengan begini, mereka akan mempercayaiku.
Kukira saat terapi tadi, aku akan kembali bertemu dengannya, sebab aku datang sesuai dengan jadwal kemarin. Tapi sepertinya dugaanku salah, sebab aku sama sekali tak melihatnya lagi.
Aku tahu kali ini aku tidak lagi bisa dikatakan berkhayal. Mama dan Papa juga melihatnya. Dokter juga melihatnya. Dan aku juga melihatnya.
Tadi aku keliling rumah sakit sendirian, begitu Papa dan Mama kembali ke kantor. Tapi aku sama sekali tidak bisa mencari keberadaan Aetherd, sebab saat ini aku masih menggunakan kursi roda dan aku hanya bisa mengelilingi lantai dasar.
Tadi aku hampir nekat menaiki lift. Tapi aku tidak diperbolehkan naik oleh seorang suster yang menemaniku.
Katanya lantai atas hanya untuk orang-orang tertentu saja.
Dan aku tidak bisa membantah. Dengan berat hati, aku mengikuti saran suster untuk beristirahat agar terapiku bisa dilanjutkan lagi besok.
"Gracia!" pekikku saat melihat Gracia datang membawa snack, permen dan makanan kecil. "Sini, sini. Aku mau cerita."
Gracia terkekeh. "Apaan sih, kok seneng banget kayaknya?"
Aku membalasnya dengan kekehan singkat, "Cia, kamu ingat nggak tentang laki-laki yang kuceritakan di kereta api itu?"
"Tentu saja, kamu baru menceritakannya lusa kemarin. Tidak mungkin aku lupa," ujarnya. "Kenapa memangnya?" tanyanya sambil meminum jus jeruk yang dibawanya.
"Aku bertemu dengannya kemarin!"
Gracia nampak tersedak, lalu matanya melotot kaget. "Serius?"
"Dua rius, Cia! Wajahnya, warna bola matanya dan bahkan namanya sama persis, Cia!"
Gracia menerjapkan matanya. "Kereta-nya muncul lagi? Terus, dimana kemarin kamu bertemu dengannya? Setahuku kamu di rumah sakit terus deh." Gracia melirik jendela dengan sedikit curiga.
"Di ruang terapi. Dia baru bangun dari komanya selama dua setengah tahun, seminggu yang lalu," balasku dengan semangat. "Pertama kalinya aku melihatnya saat malam tahun baru, semester dua kelas satu! Waktunya juga pas banget, Cia."
"Nah, ini dia jalan-jalan yang kumaksud saat koma itu!" Gracia menjentikkan tangannya dengan semangat. "Dia pasti masih disini, kamarnya dimana, kira-kira?"
Aku mengendikkan bahuku. "Entahlah."
"Siapa nama lelaki itu?" tanya Gracia nampak ingin tahu. "Aku akan mencarinya sampai ketemu meskipun harus keliling rumah sakit ini!"
"Ae-Therd." Kuakui sampai sekarangpun, aku masih tidak bisa melafalkan namanya dengan baik.
"Ei-therd?"
"A-E, Cia. A-E."
Gracia mengangguk, lalu menuliskan namanya di atas kertas, dan menunjukannya kepadaku. "Gini kan, Ra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...