Pagi-pagi bersama sekumpulan orang-orang berpakaian hitam tanda duka, gerimis menyertai seolah langit turut bersedih menyaksikan hal yang terjadi. Aroma bunga kamboja tercium, gundukan tanah yang masih basah, baru nisan yang mengukirkan namanya, menambah kesedihan dan menyadarkanku pada kenyataan bahwa Tante Nirmala telah tiada.
Di atas kursi roda, aku yang dipayungi oleh Mama, sama sekali tak bisa berkata apapun. Bahkan saat kami melihat Putri sulung tante Nirmala menjerit dan menangisi kepergiannya dengan tak rela. Putri bungsu tante Nirmala yang usianya masih lima tahun itu tak dibawa serta. Paman Lintang memeluk Putri sulungnya yang masih mencoba menggali kembali kuburan itu.
Aku memejamkan mataku, entah mengapa mataku terasa begitu panas. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dengan Tante Nirmala. Entahlah, aku tidak tahu. Kami tinggal di kota yang sama, namun aku jarang sekali bertemu langsung dengannya.
Putri sulungnya itu bernama Tania, umurnya sama denganku, dan kudengar dia akan bersekolah di SMA Permata, sama sepertiku. Kami belum sempat berbicara karena dia masih berduka menangisi kepergian Ibunya, sedangkan aku ataupun siapapun tak berani mengajaknya berbicara. Dia butuh waktu.
Yang kudengar dari kejadian singkat kemarin, malam saat aku terjatuh dari balkon, kondisi tante Nirmala mengalami penurunan drastis. Katanya, selama ini tante Nirmala menyembunyikan penyakit yang di deritanya kepada semua orang. Aku tidak tahu persis apa penyakit itu, karena baik Papa atau Mama tidak mereferensikannya, tetapi dari yang kutangkap, semua itu berhubungan dengan pemerosotan produksi sel darah merah dan jantungnya yang mulai melemah.
Orang-orang mulai berkurang jumlahnya, semuanya meninggalkan pemakaman setelah memberi doa. Namun keluarga besar masih berkumpul di sini, di depan makam Tante Nirmala, masih meratapi semua kesalahannya padanya, meratapi kenangan yang hanya bisa dikenang selamanya.
"Pa! Kenapa Mama masuk di dalam sana, Pa?! Kenapa?"
Paman Lintang hanya bisa memeluk putrinya erat, putrinya yang masih memberontak dalam pelukan Ayahnya, membuat Paman Lintang tak bisa menahan kesedihan yang sama besarnya, "Kita ikhlasin Mama, ya? Biar Mama bahagia di sana..."
Meski begitu, Tania tetap menangis, memeluk erat Ayahnya.
Aku menunduk, merenungi semua hal yang terjadi padaku selama seminggu ini. Aku tak bisa mengatakan bahwa aku bersyukur bahwa aku terbangun, tapi tak bisa dikatakan pula kalau aku tidak merasa beruntung. Aku hanya tidak tahu harus kemana.
"...Tyara, ayo kembali ke rumah sakit," ajak Mama sambil mengelus rambutku lembut, "tinggal beberapa hari saja," bisik Mama dengan pelan.
Aku mengangguk, Mama memberikan payungnya pada Papa karena hujan gerimis telah berakhir beberapa saat yang lalu. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Tania dan Paman Lintang di sana, memang masih ada beberapa keluarga lainnya yang masih mencoba menenangkan mereka di sana, tapi tetap saja aku merasa tidak tega.
*
"Kamu nggak usah mikir, kematian memang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia. Itu hukum alam, tidak ada yang bisa melawannya," gumam Mama saat membantuku berbaring di ranjangku. "...Tyara cepat sembuh ya?"
Aku melirik Mama, meski Mama mengatakan 'tidak perlu memikirkannya', aku akan terus memikirkannya. Mata bengkak Mama dan juga garis hitam yang sudah ada sejak aku terbangun, menandakan bahwa beliau sudah hampir tidak tidur beberapa hari. Aku paham betul dengan perasaan Mama meskipun aku tidak pernah tahu perasaan memiliki seorang saudara. Tapi aku tahu, Mama tidak mungkin tidak sedih disaat Kakak kandungnya meninggal.
"Mama ada urusan, nanti Mama telepon," ujarnya, "nanti Mama minta Mas Acep jemputin Bi Surti biar dia antarin lauk kesukaanmu. Mama pergi sebentar saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 1 - Air Train [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun baru, tepat setelah Kakek dan Nenek-nya tewas karena kecelakaan. Lalu, gadis itu melihat wujud kereta api spiritual yang hanya bisa dilihat...