9

78 7 3
                                    

??????

Wanita berbaju hitam itu menjentikan jarinya. Seketika itu juga ikatan dipergelangan tangan dan kakiku lepas. Namun aku masih merasa pergelangan tangan dan kakiku masih dikunci, itu semua karena tatapan wanita itu. Tatapan wanita itu sangat tajam, mungkin saja bisa mengiris sebatang bambu.

"Tidak usah takut begitu, kita ada di pihak yang sama Kiana" ujarnya, sembari membalikan badannya.

Seketika itu aku bergidik. Terdapat sebuah..tidak, Dua buah pistol! Pistol itu diletakan Dikiri dan kanan bagian belakang pinggangnya. Pistol itu seakan-akan mengisyaratkan aku berada di posisi terancam. Kalau memang itu tujuannya, ia berhasil membuatku sangat terancam.

"Mungkin cara kami membawamu kesini memang kasar, tapi ini cara terbaik, tidak ada yang mencurigai kami, toh pihak pemerintah pasti baru datang 2 hari lagi, yah taukan'ngaret'. jadi tidak ada yang akan sadar kalau kau pergi" ia kembali menghadapkan dirinya kearahku, kini suaranya tidak sedatar tadi, bahkan sangat halus walaupun terkesan merendahkan.

Namun aku masih was-was dengan tindakannya. Salah-salah langkah mungkin saja aku bisa ditembak mati dengan pistol tadi. Yah meskipun aku sempat merasa ingin mati saja karena kehidupanku yang seketika hancur, tapi rasanya sekarang aku bersyukur aku masih hidup.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu" ujar wanita itu. Ia mengisyaratkanku untuk berdiri dan mengikutinya. Dengan hati-hati aku bangun dari tempat duduk, takut membuat kesalahan. Aku mengikuti wanita itu tanpa berani berbicara satu katapun. Ia berjalan cepat didepanku. Aku hampir tertinggal.

Kami berjalan melewati sebuah lorong. Lorong itu sangat unik. Tidak hanya tembok yang terbuat dari cermin, namun juga lantai dan langit-langitnya. Benar-benar seluruh lorong itu tertutupi oleh cermin. Nuansa ini membuatku memiliki perasaan seperti melayang. Aku dapat melihat beribu-ribu refleksiku di cermin. Ruangan ini sangat menarik bagiku, secara cita-citaku adalah menjadi arsitek. Jadi melihat ruangan-ruangan ini, sangat menarik bagiku. Tidak lama kemudian aku tenggelam dengan pikiran-pikiranku. Berbagai pertanyaan mulai muncul dipikiranku.

Tiba-tiba aku teringat, Tunggu, Jam berapa sekarang? Tanggal berapa sekarang? Apa ini masi hari yang sama?

Wanita berbaju hitam itu berhenti berjalan, tepat didepannya terdapat sebuah pintu berwarna putih. Aku yang sedang tenggelam dalam pikiranku hampir menabraknya. Disebelah pintu itu terdapat sebuah alat scanner sidik jari.

Wanita itu meletakan jarinya di alat itu, kemudian ia mendekatkan matanya kealat tersebut, ternyata alat itu juga melakukan scan bola mata. Aku makin bingung tempat macam apa ini. Teknologi di tempat ini sangat tinggi. Tempat ini seperti film-film fiksi. Apa ini masih di indonesia?

Pintu ruangan itupun terbuka, dan didalamnya terdapat ruangan serba putih lagi. Ruangan itu berbentuk seperti ruang rapat, tapi bedanya... Ya disini semua berwarna putih.

Wanita berbaju hitam itu menyuruhku duduk. Setelah aku duduk, Wanita itu meninggalkan aku sendiri di ruangan rapat itu.

Beberapa saat kemudian pintu lain terbuka. Seorang pria yang memakai setelan jas berwarna putih masuk ke dalam ruangan rapat. Pria itu sepertinya seumuran dengan ayah. Ia tidak memiliki aura mengintimidasi seperti wanita tadi. Membuatku sedikit lebih rileks. Iapun duduk dikursi yang bersebrangan denganku.

Ia menatap mataku, kemudian mulai berbicara.
"Nama saya Dio, kamu boleh manggil saya om"

Ia terdengar sangat-sangat bersahabat, namun tentu saja aku masih harus waspada.

"Pertama-tama om mau minta maaf karna sudah membawa kamu dengan cara yang tidak pantas nak Kiana. Dan om juga mau menyampaikan rasa duka cita om atas meninggalnya ayahmu, om tahu ayahmu adalah orang yang sangat baik." Om Dio menarik napas dalam.

Perspektif (Update Every Saturday)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang