Gue jalan ke mal, ini adalah hari pertama gue jalan ke mal tanpa Dimas. Harus gue akui jalan sendiri dengan jalan sama Dimas rasanya beda banget. Kalau jalan sama Dimas minimal gue masih ada teman cerita sepanjang jalan, sekarang gue jalan sendiri rasanya kayak orang gila, kayak orang bodoh nggak tahu mau ke mana dan ngapain. Akhirnya gue memilih keluar dari mal itu dan pulang kerumah, pas kaki gue udah sampe didepan pintu mal gue ketemu sama cowok. Gue merasa familiar banget sama mukanya.
"Nadya. Kamu Nadya kan? Pacarnya Dimas." Kata cowok itu pas dia berhenti dihadapan gue.
"Iya, Denis kan?" Sebenarnya didalam hati gue takut salah kalau dia bukan Denis.
"Iya. Apa kabar?" Tanya Denis sambil salaman sama gue. Ini kali kedua gue salaman sama Denis dan gue masih ngerasain hal yang sama waktu gue pertama kali salaman sama Denis.
"Baik. Kamu sama siapa?"
"Sendiri."
"Dimas mana?"
"Dia lagi di Semarang, baru kemarin dia berangkat. Kamu sendiri sama siapa?"
"Aku sendiri. Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pulang."
"Aku antar ya, tapi temani aku makan dulu soalnya aku lapar banget. Di mal ini ada kafe yang enak banget, kamu harus cobain."
"Makasih banget Den, tapi lain kali aja ya."
"Udah, nggak apa-apa."
"Tapi Den..."
Denis langsung tarik tangan gue, dia bawa gue ke kafe yang Dimas nggak suka banget sama kafe itu karena rasanya yang nggak cocok sama lidahnya dan pelayanannya yang kurang baik. Seorang pelayan datang ke meja kami dengan bawa menu, gue lihat menunya yang masih dalam harga yang sesuai dengan kantong.
"Kamu mau makan apa? Pesan aja aku yang bayarin." Kata Denis pas dia lihat gue masih baca menu.
"Aku pesan yang sama kayak kamu aja deh."
Denis pun memesan makanan dan dengan cepat pelayan kafe itu langsung mencatat pesanan gue sama Denis. Gue lihat Denis yang duduk dihadapan gue dan gue juga ngelihat tiap sudut kafe itu masih ada beberapa meja yang kosong. Kebanyakan dari mereka yang datang bawa pasangan.
"Nad, Dimas ke Semarang dalam rangka apa?"
"Mau buka cabang buat usahanya."
"Berapa lama?"
"Katanya sih dua minggu tapi kalau urusannya udah selesai dia langsung pulang."
Seorang pelayan datang ke meja kami mengantar pesanan gue sama Denis. Suapan pertama masuk ke mulut gue, rasanya lumayan juga. Kenapa Dimas nggak suka ya? Lidah orang kan beda-beda, nggak semua sama. Gue lihat Denis makan dengan lahapnya, dia langsung panggil pelayan untuk bayar pesanan kami.
"Kamu makan aja aku nggak ninggalin kamu kok kan aku udah janji mau antar kamu pulang." Kata Denis sambil nungguin gue selesai makan dengan satu tangan menopang dagu.
"Kamu ke sini cuma mau makan doang atau mau sekalian jalan-jalan?"
"Tadinya sih aku mau sekalian jalan, tapi karena aku udah janji habis ini mau antar kamu pulang ya udah aku antar kamu pulang dulu aja."
"Nggak, maksud aku kalau kamu mau jalan ya udah jalan aja. Aku bisa pulang sendiri naik taksi, beneran nggak apa-apa."
"Nadya, kamu itu cewek masa' aku biarin kamu pulang sendirian. Lagian kan aku udah janji mau antar kamu pulang."
"Gini aja deh, kamu boleh antar aku pulang tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kamu nggak boleh larang aku temani kamu jalan, kalau kamu larang aku pulang sendiri."
"Kamu mau temani aku jalan?"
"Kenapa nggak? Sebenarnya tadi aku juga mau jalan, karena nggak ada teman ya udah aku pulang aja."
"Ok, aku terima syaratnya kalau gitu kita jalan sekarang."
Gue sama Denis beranjak pergi ninggalin kafe, ini pertama kalinya gue jalan sama Denis. Sesekali gue ngelirik Denis yang kelihatan lagi cari sesuatu, Denis membelokkan badannya ke toko yang jual perlengkapan olahraga. Denis masuk ke toko itu dengan cepat matanya ngelirik ke arah stik golf. Ternyata Denis punya hobi main golf, olahraga yang berkelas dan mahal. Denis keluar dari toko itu dan nyamperin gue yang udah nungguin dia.
"Kamu nggak jadi beli stik golfnya?"
"Entar aja deh aku tanya Papa dulu."
"Papa kamu suka main golf?"
"Iya. Tapi aku nggak suka golf, aku sukanya renang. Gimana kalau kita langsung pulang aja? Takutnya nanti kelamaan dijalan gara-gara macet."
Gue mengangguk cepat, kami jalan ke basement disana mobil sedan merah sudah nunggu untuk dikeluarin dari parkiran. Denis pakai sabuk pengaman tanpa kacamata hitam kayak yang pernah gue lihat waktu gue pertama kali ketemu dia dirumah Dimas.
"Den, aku boleh tahu nggak sejak kapan kamu bisa bawa mobil?" Tanya gue pecahain keheningan dimobil itu.
"Sejak SMA, itu juga pas belajar aku diam-diam tanpa sepengetahuan Mama sama Papa."
"Memangnya kenapa? Kok belajarnya diam-diam?"
"Sebenarnya aku dilarang bawa mobil sama Mama karena gara-gara mobil kakak aku kecelakaan dan meninggal."
"Maaf ya aku nggak tahu."
"Nggak apa-apa, memang gitu kan kenyataannya."
"Terus adik kamu?"
"Aku nggak punya adik, Nad. Aku cuma punya kakak yang sudah meninggal, sekarang aku jadi anak satu-satunya. Sejak kejadian itu Mama sering marah sama aku kalau dia tahu aku bawa mobil apalagi pakai ngebut, karena Mama takut kejadian yang sama terulang lagi sama aku. Maaf ya kalau kamu sampe rumah lama gara-gara aku bawa mobilnya pelan."
"Nggak apa-apa, biar pelan asal selamat."
"Kamu sendiri kenapa nggak bawa mobil?"
"Aku masih belum berani bawa mobil."
"Nad, kasih tahu aku dong jalan ke rumah kamu. Aku lupa jalannya, maklumlah aku baru dua kali jalan ke rumah kamu itu juga pas sama Dimas jadi belum terlalu hapal jalannya."
"Dari sini kita lurus aja, rumahku nomor sepuluh sebelah kiri udah dekat kok."
Mobil Denis berhenti tepat didepan rumah gue, gue melepas sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil Denis.
"Nad, kalau kamu nggak ada teman jalan telepon aku aja atau sms aku juga boleh."
"Makasih ya Den, tapi aku kan nggak punya nomor hadphone kamu."
"Boleh pinjam handphonenya nggak?"
Gue kasih handphone gue sama Denis, gue yakin banget kalau Denis sekarang lagi masukin nomor handphonenya ke handphone gue. Denis balikin handphone gue dan gue pun turun dari mobilnya tanpa harus menunggu mobilnya pergi dari hadapan gue. Gue masuk ke dalam rumah dan gue lihat Clara dan Clarisa lagi rebutan remote TV, sesuatu yang jarang gue lihat karena biasanya kalau gue pulang mereka udah didalam kamar asyik main game yang ada dikomputer mereka masing-masing.
Gue masuk ke kamar, lihat handphone gue sepi dari telepon dan sms Dimas. Hari ini Dimas nggak ada hubungi gue, mungkin dia lagi sibuk atau sekarang dia udah istirahat karena kecapekan udah seharian ngelakuin aktivitas. Gue memilih untuk langsung istirahat dan gue nggak mau hubungi Dimas karena gue takut ganggu dia kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Hati
Teen FictionGue dikenalin Dimas sama Denis sahabatnya sejak kuliah. Waktu Dimas ke Semarang, hampir tiap hari gue jalan sama Denis tanpa sepengetahuan Dimas hingga akhirnya gue jatuh cinta sama sahabat cowok gue sendiri.