"Anjir, Cal. Ini bagus banget, sumpah."
Ternyata sedari tadi kami berada di atas gunung, dan tempat yang Calum ingin tunjukkan kepadaku entah bagaimana merupakan sebuah lahan kosong yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Namun dari tempat ini, dapat terlihat pemandangan kota di bawah gunung ini. Memperlihatkan lampu-lampu dari rumah dan gedung kota yang selalu dapat membuat hatiku tenang.
Calum memang selalu hafal hal-hal kesukaanku. Ini contohnya; memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip indah. Sejak Calum mendapatkan SIMnya, ia sering mengajakku mencari tempat-tempat yang seperti ini. Ia selalu mengajakku dengan kalimat yang sama; "Let's find our secret little getaway.".
"Sini yuk, duduk." Maksud Calum membawa dua selimut itu bukan seperti yang aku kira; satu untukku dan satu untuknya. Tetapi satu untuk alas duduk kami—karena dia tidak ingin jok mobilnya kotor—dan satu lagi untukku jika kedinginan.
Kami diam sambil menatap lurus ke depan memandangi indahnya lampu-lampu kota di malam hari, lagi-lagi sibuk dalam pikiran masing-masing.
Sampai akhirnya Calum memindahkan kepalaku ke atas dadanya dengan tangannya, lalu memelukku yang terbalutkan selimut dari samping. "Gue bingung deh, Va, sama perasaan gue sendiri." Akunya. "Tiba-tiba aja, gitu, gue sadar akan sesuatu." Lanjutnya dengan suara pelan dan sungguh-sungguh.
"Gue baru sadar, kalo selama ini perasaan gue ke Indy tuh cuma sekedar kagum, gak lebih." Matanya mulai berair, tapi dia mencoba menahannya agar tidak menetes.
Aku sudah sangat pasrah dengan nasib perasaanku ini. Sepertinya, aku harus menyiapkan mentalku untuk patah hati lagi.
Apapun maksud dari perkataan Calum tadi, yang jelas aku harus sabar menghadapi apapun yang akan terjadi. Paku-paku yang Calum tebarkan nantinya dengan senang hati kupungut dan genggam dengan sekuat tenagaku, walaupun aku tahu sebagai balasannya pasti aku yang akan terluka.
"I wish that I could wake up with amnesia," Dia bernyanyi dan memperkuat pelukannya yang belum kubalas. "And forget about the stupid little things." Lanjutku sambil membalas pelukannya. Punggungnya bergetar, dan perlahan-lahan ia meruntuhkan tembok pertahanannya dipelukanku, menangis tersedu-sedu. "Maaf, ya, Va. Aku sering bikin kamu nangis,"
Seluruh air mata yang mengalir malam ini, aku harap, akan menghilang bersamaan dengan rasa sakit yang selama ini menjalar pada hati kami.
Dan ikut pergi membawa seluruh perasaan yang kusimpan untuknya.
"Like the way it felt to fall asleep next to you," Nyanyiku sambil mengusap punggungnya, berusaha menenangkan. "And the memories I never can escape." Aku melepas pelukan kami dan kembali ke posisi awal kami, kepalaku yang berada di dadanya dan dia yang memelukku dari samping. Aku melepas selimutnya dan melebarkan selimut itu lalu menyelimuti kami berdua.
"If today I wake up with you right beside me," Ia melanjutkan bernyanyi sambil mencubit cubit pipiku, "Like all of this was just some twisted dream," Aku mendongakkan kepalaku, menatap matanya. "I'd hold you closer than I ever did before," Ia memelukku lagi dan lagi, tapi tidak memutuskan kontak mata kita.
Ia melepas pelukannya, dan kami kembali memandang kedepan. "And you'd never slip away." Nyanyinya menyelesaikan lagu itu, yang membuatku menoleh. Aku tidak tahu bahwa sedari tadi ia membungkuk, mensejajarkan wajah kami. Calum memajukan kepalanya, menggenggam kedua tanganku kemudian mengecup bibirku.
Hanya sebentar, tapi sukses membuatku berpikir bahwa mungkin saja Calum juga memilki perasaan yang sama terhadapku.
"Varisca Elvarette, apa pun yang terjadi, jangan pernah tinggalin aku, ya."
Tapi pada akhirnya, kamu yang akan pergi dari aku, Cal.
**
kemaren di sekolah, temen gue (yang berjenis kelamin laki-laki) nunjukin ginian;"Ingin payudara kencang? pakai speaker saja!"
AHHAHAHHA RECEH BANGET jorok tapi lucu :(
KAMU SEDANG MEMBACA
astray • hood
Fanfiction❝Let's take the long way home, shall we?❞ [COMPLETED] Written in Bahasa Copyright © 2016 by Kechood