Bonus Chapter

4.4K 876 449
                                    

Betapa terkejutnya Dr. Arin saat memutar kenop pintu diujung lorong tersebut, wanita yang usianya baru menginjak kepala tiga tersebut masih belum terbiasa akan kehadiran lelaki berseragam biru khas pasien rumah sakit itu yang sangat setia menunggui gadis yang ia tangani.

"Eh, Calum? Disini lagi? Kamu gak istirahat di ruangan kamu aja?" Tanya sang Dokter sambil mengontrol alat-alat  yang sengaja ditempelkan ke badan mungil gadis di depannya.

Yang ditanya hanya tersenyum lemah sambil mengangguk. Kini kehabisan tenaga akibat tangisan yang setiap malam ia keluarkan secara diam-diam.

Hari ini genap 3 minggu sejak kecelakaan itu terjadi. Dan Varisca masih belum menunjukan peningkatan yang signifikan. Walaupun Dr. Arin terus berkata kepadanya bahwa Varisca akan siuman dalam waktu dekat, Calum tahu bahwa keadaan Varisca kian melemah dari hari ke hari.

Selama 3 minggu itu pula Calum terus merutuki dirinya sendiri. Terus berkata bahwa ini semua merupakan kesalahannya, walaupun tidak ada satu pun orang yang menyalahkan dirinya.

Pada malam pertama saat ia siuman, lelaki itu tidak bisa mengontrol dirinya. Satu-satunya hal yang berkeliaran di pikirannya hanya Varisca seorang. Tanpa ragu, Calum berteriak meronta menanyakan keadaan gadisnya itu.

Hatinya terasa sangat mencelos saat mengetahui Varisca dalam keadaan koma. Calum langsung melepas infusnya tanpa memedulikan akibat yang akan ia timbulkan. Dengan segala tenaga yang tersisa dalam dirinya, ia berlari menuju ruangan UGD. Suster yang tadinya bertugas untuk menjaga Calum berusaha mengejar sambil terus meneriaki namanya, namun, Calum bukan lah Calum jika ia tidak keras kepala.

Jantungnya terasa berhenti saat mengetahui fakta baha ruangan itu kosong. Dengan kepanikan yang menguap tanpa bisa ia kontrol, Calum buru-buru menanyakan dimana ruangan Varisca kepada suster yang sedaritadi mengejarnya.

Tentu saja tidak semudah itu. Suster yang ternyata bernama Nalar terus bersikeras menyuruh Calum kembali ke kamarnya demi kebaikan pemuda itu sendiri. Sedangkan Calum dengan segala ego di dalam tubuhnya tidak mempedulikan apapun kecuali Varisca yang sedang terbaring lemah karena kebodohan dirinya yang menurut pemuda itu tidak akan pernah bisa dimaafkan dengan apa pun.

Nalar akhirnya menyerah, tidak tega melihat raut wajah Calum yang dipenuhi dengan ketakutan yang dapat terlihat jelas hanya dengan sekali lirikan. Akhirnya, perempuan berseragam putih itu memperbolehkan Calum bertemu Varisca dengan satu syarat; Calum harus memakai infusnya yang tidak boleh dicabut tanpa izin.

Dengan tidak sabaran, Calum menyeret infusnya menuju kamar yang terletak di ujung ruangan tersebut.

Tangisannya langsung pecah ketika melihat kekacauan yang ia buat. Varisca terbaring lemah tak berdaya, mukanya sangat pucat. Banyak sekali alat medis yang Calum tidak ketahui namanya menempel pada tubuh mungil gadis miliknya itu.

Sejak saat itu, Calum enggan meninggalkan ruangan bercat tembok putih milik Varisca.

Setelah ia puas menangisi kebodohannya dan telah kembali terhentak ke kenyataan, Calum langsung meminta izin kepada Nalar untuk memperbolehkannya tinggal di kamar Varisca.

Proses izinnya memang sulit dan merepotkan. Namun, apa pun akan Calum lakukan demi Varisca.

Dan disini lah ia sekarang. Tidak memiliki niatan sedikit pun untuk pergi dari sisi gadisnya.

Tak banyak yang bisa Calum lakukan, ia hanya bisa memandangi Varisca yang matanya terpejam itu. Lagi-lagi, Calum kembali menyalahkan dirinya sendiri. Tak henti-hentinya lelaki itu mengelus lembut tapak tangan Varisca yang disuntik infus—sama seperti tangannya.

"Dok, Varisca... dia pasti bangun, kan?" Lelaki bermata sendu itu selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap harinya.

Walaupun sudah tahu jawaban yang akan diberikan sang Dokter, entah kenapa ia masih terus berharap jawaban itu berubah—jawaban pasti yang dapat menenangkan hatinya. Bukan seperti sekarang, jawaban mengambang yang selalu membuat hatinya waswas.

astray • hoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang