10. Living In a Movie Scene

4.9K 933 320
                                    

Aku terbangun dengan wajah Calum yang sangat dekat dengan wajahku. Kaget, pastinya.

Siapa yang tidak kaget jika saat terbangun langsung disuguhkan pemandangan sebuah wajah pedophile dengan sepasang mata yang haus akan belaian hanya berjarak 3 cm dari wajah kalian?

Dan yang membuat ini semua lebih menyeramkan, kedua mata itu terlihat seperti sedang mengamati wajahku.

Mungkin memang aku termasuk salah satu orang yang tingkat kesialannya selalu di atas rata-rata, jadi keberuntungan jarang berada pada pihakku. Dengan tingkat kepanikan yang sudah tidak bisa dikontrol, aku mengangkat kepalaku tanpa memikirkan akibat yang akan aku timbulkan.

Secara otomatis, kedua kepala kami membentur sangat keras.

"Ah, anjing lo!" Caciku.

Aku mengusap dahiku yang benar-benar sakit. Entahlah, Calum sepertinya sudah mati rasa. Bukannya mengurusi kepalanya, ia malah mendekat kepadaku lagi. Satu tangannya mengelus dahiku, dan tangan yang lain mengusap dahinya sendiri.

"Va, lo tau gak?" Tanyanya sambil memasang muka yang sangat serius. Sering aku merutuki diriku sendiri yang selalu luluh kepada kedua mata itu. "Katanya, kalo ada dua orang yang kejedot, nanti anaknya mirip. Jadi kita mesti jedotan lagi biar anaknyak gak mirip." Katanya memberi informasi yang sangat aneh.

Aku membuka mulutku ingin membantah mitos itu, tapi terpotong oleh kalimatnya. "Tapi, nanti kan anak gue berarti anak lo juga." Ucapnya lalu mendorong pelan dahiku dengan dahinya.

**
Kini kami berada pada sebuah warung lesehan yang menyediakan nasi dengan berbagai macam menu tradisional. Calum masih lapar rupanya, padahal di warkop tadi dia sudah memakan 2 bungkus mie instan.

Seperti biasa, dia yang memesankan makanan untukku, Calum memang selalu seperti itu. Sambil menunggu Calum memesan makanan untuk kami, aku mengamati orang-orang disekitarku.

"Gue baru sadar, kok gue terus ya yang pesenin makanannya?" Calum kembali sambil membawa dua piring tradisional yang terbuat dari anyaman bambu. "Kalo kita nikah nanti, Va, harus lo yang ambilin makan buat gue, ya." Candanya.

"Tai, revisi skripsi udah selesai belum? Main ngomongin nikah aja." Balasku sambil mengambil telur semurnya tanpa izin.

Kami sekarang sedang berkeliling di malioboro, memasuki satu demi satu toko yang ada, sambil sesekali membeli oleh-oleh untuk keluarga kami.

Karena kami sangat menyukai wisata kuliner, kami juga mencoba segala macam makanan yang di jual di pinggir jalan. Mulai dari makanan yang sering kami jumpai di Jakarta, sampai makanan yang namanya belum pernah kami dengar sama sekali.

Calum juga mengajakku ke alun-alun kota. Walaupun sudah sangat malam, ternyata alun-alun kota ini masih ramai pengunjung.

Tidak ingat umur, kami berbaur dengan gerombolan yang kami perkirakan sedang menduduki bangku kelas 6 SD. Sesekali kami meledek dan mengerecoki mereka.

Kali ini, kami mencoba permainan menangkap ikan yang ditaruh disebuah bak karet untuk anak kecil berenang, memang sangat random.

"AH BANGSAT ITU TADI KETANGKEP!" Teriak Calum frustasi karena ikan yang ia hampir tangkap sudah lolos untuk ke-6 kalinya.

"Kak Calum cupu ah!" Ledek gerombolan anak kecil yang sedaritadi kami ganggu. Dan ternyata diketuai oleh anak bernama Mamat. "Tau, ya Mat. Kalah sama anak kecil!" Tambahku untuk membuat Calum semakin sebal.

"HEH, MAMAT! PULANG KAMU! UDAH JAM BERAPA INI?" Teriak seorang ibu-ibu yang mengenakan koyo dikanan dan kiri dahinya. Tentunya dengan daster khas dan rambut yang dicepol asal. "MAK, ampun mak, ampun! Kan besok libur." Jawab Mamat menghampiri Ibunya, sedangkan anak yang lain kabur sebelum tertangkap oleh Ibunya Mamat.

"WOY, MAT! KETANGKEP NIH IKANNYA!" Seru Calum semangat, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatannya, ia sampai tidak menyadari bahwa semua anak-anak sudah pergi dan kini menyisakan hanya kami berdua pada lapak permainan ini.

"Telat, lo! udah pada kabur tadi emaknya Mamat nyamperin." Jawabku sambil menunggu ikan Calum dibungkus sedemikian rupa.

Kami sekarang berjalan mengitari alun-alun ini, sambil berbincang dan memperhatikan sekitar. "Va, bentar deh. Itu ada anak kecil nangis." Ucap Calum sambil berlari pelan menghampiri ibu-ibu yang membawa 3 anak, satu masih bayi yang digendong olehnya, dan dua yang lain sepertinya kembar, yang kuperkirakan berumur sekitar 4 tahun.

Aku terdiam, memerhatikan Calum menenangkan kedua anak kembar yang sedang menangis itu, karena aku terlalu kaget untuk bergerak.

Setelah kedua anak itu berhenti menangis—yang sekarang sedang tertawa bersama Calum—aku tersadar dan menghampiri mereka. Aku tersenyum sopan yang dibalas dengan senyum tulus menenangkan oleh ibu tiga anak itu.

"Wah, kak. Pacarnya ya? Cocok banget."

Aamiin banget bu, tapi yang disini masih kena friendzone sayangnya. Kami mengobrol cukup lama, dan kemudian memutuskan untuk kembali ke mobil.

"Cal, you're gonna be a great father." Ucapku saat sudah sampai pada mobilnya. "And you're gonna be the mother of my children." Jawabnya sambil membukakan pintu penumpang untukku.

**
AHHAHA ywl ini cerita makin gak ada faedahnya zzz

dedicated buat calthoodxx yang udah memberi pencerahan buat chapter ini<3 tengkyu soo much hehe
btw go check her work, tuan muda calum super tai sudah menunggumu di ceritanya

astray • hoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang