Ruangan persegi yang begitu besar dipenuhi oleh bau-bau buku pelajaran ini dalam sekejap telah jadi musuh dalam dirinya. Sebuah meja bundar yang hanya diisi oleh beberapa anak-anak pintar dari setiap sekolah yang berbeda. Ya, tidak termasuk Sofia.
"Oke, soal mudah seperti ini harus kalian selesaikan dalam waktu dua menit." ucap seseorang yang tengah berdiri memegang stopwatch dan beberapa lembar soal di tangannya.
Satu menit telah berlalu. Tapi Sofia sama sekali belum mengerjakan soal yang diberikan guru lesnya. Sementara anak-anak lain terlihat sudah menyelesaikan soal dengan cepat meskipun waktu masih tersisa.
"Waktu dua menit kalian telah habis. Sekarang lanjut ke soal berikutnya. Jika kalian tidak bisa mengerjakan soal ini dalam dua menit, tak seharusnya bermimpi masuk universitas hukum." ucap guru lesnya lagi
Sofia kembali tak mengerjakan. Ia hanya memperhatikan lelah teman-teman di sekelilingnya. Mereka begitu mudah untuk mengerjakan soal. Dalam hati ia merasa dirinya tak pantas untuk berada di bimbingan belajar ini. Pikirannya buyar. Ia terlalu lelah dengan suara-suara pulpen yang dicoretkan di kertas dan detik jam yang menggema di telinganya.
Akhirnya setelah berjam-jam, bimbingan belajar yang begitu menakutkan baginya telah selesai. Lantas ia pergi keluar sebentar menuju kamar mandi. Setelah itu ia kembali untuk mengambil peralatan miliknya di ruang les. Tiba-tiba tanpa sengaja ia mendengar percakapan teman lesnya dari celah pintu.
"Ehh anak baru itu, apa dia ngerti sama pelajaran kita? Tingkat berapa dia? Gue liat dia ngga bisa nyelesain soalnya."
"Entahlah. Tapi nilainya jauh lebih rendah dari kita-kita."
"Apa menurut lo dia bisa bisa masuk universitas hukum?"
"Mungkin tidak."
Setidaknya itu percakapan yang Sofia dengar. Kemudian ia membuka pintu sekeras mungkin dan mengambil tasnya lalu pergi daru ruangan les. Semua yang melihat perlakuan Sofia melongo kaget.
Lantas ia berlari menuju parkiran dan menaiki mobil ibunya.
"Aku boleh berhenti les?" tanyanya tertunduk lemah.
"Kamu baru mulai les disana. Kenapa harus berhenti?"
"Aku cuman ngga mau."
"Ibu ngga mau tau. Pokoknya kamu harus tetep les disana dan masuk universitas hukum!"
Sofia tak menanggapi. Ia menatap keluar jendela diiringi air mata yang mengalir tanpa seizinnya.
"Kenapa kamu malah nangis? Hahh ibu sudah cukup sabar dengan sikapmu ini." ucapnya sambil memberhentikan mobil ke pinggir jalan. "Baiklah...kalau begitu cobalah untuk masuk universitas kedokteran. Ibu punya banyak kenalan supaya kamu bisa ikut bimbingan belajar lain."
"Ibuu!!" teriak Sofia kencang. Sangat kencang hingga ia tak sanggup menghadapi amarahnya. Lantas ia membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
"Sofia!! Kamu mau kemana?" tanya ibunya yang juga keluar mobil mengikuti langkah anaknya yang sedikit menjauh.
Sekejap Sofia menghentikan langkah kakinya. Ditatapnya sang ibu dengan emosi yang meledak-ledak. "Aku benci semua ini! Bahkan tadi ibu ngga tau kenapa aku nangis? Apa ibu pernah nanya apa yang aku mau? Pernah ngga ibu tanya apa aku suka sama universitas hukum? Pernah ngga bu? Aku ngga mau masuk universitas hukum atau bahkan kedokteran! Aku ngga mau itu semua! Aku ngga sepintar ayah dan ibu! Tapi kenapa aku harus ngelakuin ini semua? Kenapa?" Sofia terus menangis kencang ditempat. Tubuhnya terasa lelah untuk bergerak.
"Baiklah, ayo masuk. Kita bicarakan di rumah." pinta ibunya membawa Sofia masuk kembali ke dalam mobil.
Apa gini rasanya saat orang yang kita sayang ngga pernah ngerti perasaan kita? Ngga pernah tau apa yang kita mau? Gue benci diri gue sendiri. Gue pingin keluar dari hidup gue, dari semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Cerita Cinta
Teen FictionIni dia! Pangeran kegelapan dan sang pahlawan kesiangan. Siapakah diantara mereka yang akan mendapatkan hati sang putri? Akankah mereka bisa berjuang melawan masalah dan masalalu yang terus menghantui dan mengelilingi seluruh ruang otaknya? Gabriel...