[-A]HEART SKIP A BEAT

1.6K 59 5
                                    

My heart is always first to know
And as the feeling grows
I can't deny push those thoughts aside
My world is full of loveliness
But I focus on the stress

Heart Skips A Beat, Lenka

---

Menjadi mahasiswa tingkat akhir benar-benar melelahkan. Melelahkan secara jasmani dan rohani. Saat ini aku sedang duduk disalah satu kursi dekat pintu di perpustakaan. Bertopang dagu menunggu pustakawan mencarikan informasi di komputernya mengenai buku yang kucari.

Katanya, hanya butuh waktu dua menit. Nyatanya, sudah hampir lima belas menit aku duduk-tadinya berdiri, menunggu mesin komputer itu bekerja. Menurut kalian itu bukan waktu yang lama? Memang bukan jika di bandingkan mencari secara manual mengelilingi rak-rak super raksasa di perpustakaan kota ini. Tapi sekarang aku sangat lelah. Ditambah aku sedang berpuasa. Aku ingin segera kembali ke pulang dan tidur.

Komputer yang sedang bekerja itu mengeluarkan bunyi menderik, seperti bunyi komputer lawas yang di paksa bekerja ekstra. Sesaat kemudian berbunyi berhenti mendadak. Dengan amat semangat, aku bangkit berdiri menghampiri pustakawan berambut setengah dipenuhi uban bersama komputernya.

Alisku naik keduanya, menanyakan apa hasil yang ditampilkan layar komputer. Namun turun sebelah, saat pustakawan itu meringis. Demi Tuhan, dia meringis. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan dikatakannya.

Seakan dilempar kedalam jurang itu lebih baik. Pustakawan itu memutar layar komputer agar menghadap ke arahku. Heh, padahal itu komputer tabung. Dan... layarnya gelap.

Praktis, aku mendesah kesal-hampir melemparkan umpatan pada komputer bobrok itu.

Sabar,sabar. Sayang puasanya.

Ponselku berdering, segera aku pamit dengan melempar senyuman kecut ke pustakawan dan berjalan keluar dari perpustakaan. Sambil berjalan, aku mengangkat panggilan. Dari Ibu?

"Ya,Bu? Assalamualaikum"

"Alaikumussalam, pulang jam berapa? Buka di rumahkan? Pokoknya harus di rumah. Cepet pulang, sudah sore."

Dahiku mengkerut heran, serta curiga. Tidak biasanya Ibu menelepon sesore ini untuk menyuruhku pulang. Apalagi menyuruh berbuka puasa di rumah, tidak pernah. Biasanya juga cuek sekali, katanya tidak makan di rumah tidak apa, yang penting makan. Serta batas pulang malam sampai jam sepuluh-sebelas.

"Iya, bentar lagi. Baru keluar dari perpustakaan. Habis ini pulang." terdengar suara menggumam di seberang sana.

"Iya udah. Ati-ati" dan sambungan terputus. Aku mengambil nafas dalam. Lagipula, aku memang ingin istirahat kan?

Segera aku menuju parkiran yang terletak di pelataran luas perpustakaan kota. Motor matic-ku sudah menunggu.

Mendongak ke atas, rintik-rintik air bersarang di jok motorku. Ya ampun, gerimis. Aku menahan untuk tidak mengumpat. Cepat-cepat ku masukkan tas ransel kedalam ruang di bawah jok motor. Dan melesat menuju rumah.

***

"Ibu! Dimana hairdryer-nya?" teriakanku melewati ruang makan menuju dapur. Hanya mengenakan kaos oblong dan handuk melilit di pinggang. Dari dalam dapur, Ibu balas berteriak.

"Nggak tau!" aku berdecih, berjalan memutari meja makan sambil mengusap rambut basah menggunakan handuk yang lebih kecil.

"Ebuset, cuma pake handuk keliling-keliling rumah. Melorot kapok,deh" lagi, aku mendecih. Melewati adikku begitu saja.

"Tau hairdryer nggak?" tanyaku sambil berlalu.

"Telepon aja dulu, siapa tau masih jalan-jalan." aku memutar kepala, adikku sudah menampilkan wajah cengengesan tak berdosanya. Lagi-lagi aku menghela nafas. Memang tidak mudah memiliki adik lelaki yang usianya tidak terpaut jauh. Kurang ajar.

Kesal, aku memutuskan naik ke lantai atas kembali kedalam kamar. Ya Allah, maafkanlah hamba kebanyakan mengeluh hari ini.

Tadi, aku sampai di rumah dengan keadaan kuyup. Perjalanan dari perpustakaan kota menuju ke rumah membutuhkan waktu dua puluh menit. Ya, dua puluh menit hujan-hujanan. Sambil bertahan tidak menghisap bulir hujan yang merayap mendekati mulut. Aku lupa membawa jas hujan. Untung saja, aku membawa jaket. Kalau tidak, bisa di bayangkan bagaimana rupa kemeja linen yang kukenakan tanpa memakai tanktop. Tadi, untuk bawahan aku memakai celana jeans. Oh iya, bersyukur juga aku tidak memakai sepatu. Aku benci jika harus mencuci dan menjemur sepatu.

Aku cukup pede memakai sandal jepit berbahan karet ke kampus dan perpustakaan kota.

Melepas lilitan handuk dan menggantinya dengan celana boxer di atas lutut. Aku mengusap-usap rambut basahku menggunakan handuk yang tadi melilit di pinggang. Sebenarnya tidak terlalu panjang, rambutku hanya sepanjang bahu. Tapi tetap saja untuk mengeringkannya secara cepat-sebelum aku masuk angin, membutuhkan bantuan hairdryer yang sekarang entah berada dimana. Aku malas juga mencari.

Untuk mengatasi, dengan handuk tadi ku bungkus seluruh rambutku. Menjadikannya pintalan dan meletakkan di atas kepala. Dari bawah, ibu berseru memanggilku.

"Ari! Turun! Bantuin Ibu!" jangan tanya bagaimana kesalnya diriku. Tadi aku berencana pulang cepat agar bisa istirahat. Ditambah sekarang sedang hujan cukup deras, bunyinya memang pas dan hebat sebagai lagu penghantar tidur.

"Iya Bu! Sholat dulu!" balasku berteriak.

Aku turun menghampir ke dapur setelah sholat ashar. Berpapasan dengan ibu yang sedang membawa banyak piring ke meja makan.

"Kamu angkat sayurnya, bawa kesini." perintahnya saat aku mengulurkan tangan berniat mengambil alih piring-piring itu. Di dapur, aku celingukan mencari sayur yang dikatakan. Diatas kompor tidak ada, adanya panci bekas wadah memasak sayur. Aku baru akan berteriak menanyakannya saat melihat sayur yang dimaksud ibu ternyata berada di meja belakangku. Sudah tertata apik di dalam mangkuk super besar. Ada lauk-lauk juga banyak. Banyak. Tumben kok banyak banget, ada syukuran apa? Siapa yang ulang tahun?

Mengangkat mangkuk sayur dan membawanya ke meja makan, sambil mengingat-ingat tanggal ulang tahun anggota keluarga. Ibu udah lewat, Ayah dua bulan lagi, gue masih lama, Genta nggak pernah lahir-eh gadeng, dia,sih udah lewat juga. Siapa,ya? Kakek?Nenek?Tante?

"Heh! Bengong aja. Awas sampe tumpah" ibu mengingatkanku akan sayur yang kubawa. Sudah miring, hampir tumpah.

"Bu! Kok banyak banget? Ada syukuran apa?" akhirnya aku bertanya ke Ibu.

"Itu, temen Ayah mau ikut berbuka puasa disini," ibu tersenyum terus, wah, aku patut curiga.

"Sekalian kenalin anaknya ke kamu" lanjutnya sambil berbisik di dekatku.

"HEH! UDAH DIBILANGIN. TUMPAH SEMUA SAYURNYA!"

Aku memang curiga.

***

HOW I LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang