[E]FLASHLIGHT

569 27 1
                                    

I got all I need when I got you and I
I look around me, and see a sweet life
I'm stuck in the dark but you're my flashlight
You're getting me, getting me, through the night

Flashlight, Jessie J

---

Kami sedang mengantri di kasir. Tidak begitu panjang, tinggal menunggu tiga orang di depan sudah giliran kami. Aku mengecek lagi barang-barang di troli dan mencocokkannya dengan list belanja yang kusimpan di ponsel. Ya, list yang kubuat untuk mengingatkan diriku membeli barang-barang yang kubutuhkan. Kalau belanjaan untuk Ibu dan Ayah sih sudah paten dan hafal di luar kepala. Kadang hanya perlu tambahan jika ada titipan khusus yang diberi Ibu, tapi itu jarang sekali.

Merasa sudah beres semua, aku memasukkan ponsel ke dalam tas selempang yang kuletakkan di dalam troli. Lalu aku mengambil dan memakainya. Melirik ke Niga, aku jadi memikirkan sesuatu.

"Mau kopi?" Niga hanya menggeleng menjawab pertanyaanku.

"Ya tapi nanti mampir dulu ya? Aku mau. Beli donat juga" Niga melihatku sekilas, lalu mendorong maju troli kami yang penuh.

"Hhm," itu artinya iya. Ya wajar Niga bersikap seperti ini. Mood Niga yang buruk adalah sesuatu yang buruk juga untukku.

"Tapi aku jalan dulu ke mobil"  kami maju lagi mendorong troli.

"Kenapa gitu?" Jelas aku tidak nyaman berkeliaran di Mal sendirian. Padahal dulu aku juga biasa jalan-jalan sendiri keliling kota naik motor. Tapi sekarang beda, rasanya tidak nyaman dan ada yang nggak lengkap kalau tidak memegang ujung bawah kaos atau kemeja Niga.

"Sepuluh menit buat tidur cukup"

Aku mendengus, "ya udah nggak usah aja"

Berpikir sebentar, aku menimbang-nimbang bagaimana baiknya mengatasi mood Niga. Hingga aku akhirnya berucap namun tak di hiarukan,  Niga sibuk mengeluarkan barang belanja dari troli.

"Kita nggak jadi aja ke rumah Ayah" Niga mengernyit, namun masih tidak beralih dari kegiatannya "kenapa gitu?"

Niga meniru gayaku ketika tadi bertanya pada dia. Aku meniru caranya menjawab, "Semalam cukup untuk kita bicara."

Niga diam, dia sudah selesai mengeluarkan barang belanjaan, kini barang-barang itu masih di ada di tangan kasir. Kemudian dia menjawab dengan jawaban yang membuatku kesal.

"Nggak"

Langsung emosiku memuncak, padahal daritadi sudah kucoba menahannya. Tidak peduli mata kasir wanita yang beberapa kali melirik kami dan orang-orang yang mengantri di belakang , aku sudah kalap. Tanganku bergerak rakus mencubiti pinggang Niga. Dia berteriak kesakitan dan aku juga berteriak kesal, semua orang melihat ke arah kami. Aku menyudahi acara mencubit Niga, tapi tawa dan suara orang-orang yang tadi melihat kami masih ada.

"Empat ratus lima puluh enam  ribu enam ratus rupiah" kasir wanita dengan name tag 'Indah' memberitahu total belanja yang harus dibayar, dia juga menahan tawa yang di sembunyikan dalam senyum. Cepat-cepat aku mengeluarkan dompet dan memberi dua kartu pada kasir. Niga sudah membawa dua kantung kresek dan berjalan mendahului. Hah! Tempurung kepalaku rasanya mau bolong di tatap oleh banyak orang.

"Empat ratusnya boleh di donasikan,Mbak?"

"Iya-iya terserah" ucapku terburu tak sabar dengan situasi ini. Kasir wanita ini menyerahkan kembali dua kartu tadi yang kuberikan setelah sebelumnya dia menggesek kedua kartu. Lekas aku berjalan cepat meninggalkan tempat kasir tanpa mengambil struk belanja.

Dasar kelakuanku! Terus berjalan tanpa menoleh sekalipun kasir meneriaki bahwa aku lupa mengambil struknya. Susah payah aku berdoa agar leherku tidak berputar. Pasti sekarang orang-orang dibelakang sudah menatapku. Jangan menoleh, Ari! Malu!

Tadinya aku akan berjalan menuju tempat parkir, tapi niat jahat terbesit. Berjalan berputar aku ingin membeli kopi dan donat. Biar Niga tidur sepuluh menit, biar dia nunggu, biar dia cari aku, terserah. Pokoknya sepuluh menit.

Niga bersandar pada cup depan mobil, tangannya bersedekap. Sebelum dia berbicara, aku mendahului. "Sepuluh menit, pas"

Aku masuk kedalam mobil, membiarkan Niga yang masih bersandar. Dari dalam, kulihat dia menggaruk kepala dengan kesal lalu masuk ke dalam mobil. Menghidupkan mesin dan keluar dari tempat parkir. Tumbler kopi kuletakkan pada dasbor, membuka kotak donat yang tadi ku beli dan memakannya.

"Aku—"

"Aku nggak akan tanya lagi. Kamu ngambeknya beneran" menyela omongan Niga dengan mulut tersumpal donat. Eh, tapi jangan dikira aku menyerah mencari tahu alasan Niga jadi uring-uringan,loh. Ini namanya strategi, lihat saja deh. Niga menghela nafas.

"Maaf" mobil yang kami tumpangi berhenti di lampu merah. Menoleh ke kanan, aku hanya mengangguk-angguk dan bergumam menjawab permintaan Niga. Ya, cukup dengan 'hmm', aku tidak mengatakan apapun.

Aku pura-pura sibuk dengan kopi dan donat. Padahal pikiran dan mataku sedari tadi hanya terpaku menunggu reaksi Niga. Hah!

Tutup tumbler kubuka dan menutupnya lagi. Tujuannya biar aroma kopi menguar dan mengusik penciuman Niga. Menoleh, aku berharap bisa melihat hidung Niga yang menghamba pada aroma kopi.

Nyatanya, haaaah, kuminum sajalah kopinya.

"Kamu tau seharusnya gimana" bagaimana ini, mulut dan telingaku sudah tidak sabar. Jadi kalimat itu terlepas begitu saja.

Niga diam saja, tangannya kembali aktif saat lampu sudah berubah menjadi hijau. Menyeruput kopi dan mengambil lagi satu donat, aku tidak sabar. Tiap Niga menghela nafas, sesegera mungkin aku langsung menoleh ke arahnya.

"Can we just cuddle? All night? Or all day?" Katanya setelah menghela nafas, tentu saja bola mataku sudah menatap dia. Ganti aku yang menghela nafas.

"I think so, tapi nggak sebelum kamu jelasin" tolakku masih menahan agar tidak terlihat memohon penjelasan.

"Please" nah! Gitu,dong. Aku jadi bisa memasukkan kata-kata yang mendesaknya.

"Kamu bisa lakuin nanti. Or Nah" yap, itu ancaman. Maksudnya Niga bisa menjelaskan semuanya padaku nanti,tidak sekarang. Mungkin selama berpelukan? Atau setelahnya? Pokoknya harus.

"Aku bisa paksa kamu" aku terdiam sebentar. Ini diluar rencana.

"Apa susahnya?" Menanyakan apa susahnya untuk Niga membuka mulut dan bercerita.

"Apa susahnya?" Niga mengulangi perkataanku, ini maksudnya dia menanyakan apa susahnya berpelukan. Hah! Susahnya~

"Berhentiin mobilnya" ucapanku tak dihiraukan. Tumbler dan kotak donat kuletakkan di dasbor. Tanganku meraih dan memencet klakson mobil.

"What are you doing?!" Tangan kiri Niga menyela tanganku. Menjauhkannya dari klakson.

"Aku nggak bakal turun,kok. Udah berhentiin aja mobilnya" lagi tanganku memencet klakson beberapa kali.

"Stop it, Ari! Iya-iya aku pinggirin dulu!"

"Cuddle right now." Mobil telah berhenti dan aku melangkah menuju kursi Niga. Aku memeluk Niga, kami berpelukan.

Aku tersenyum hampir tertawa setelah beberapa saat Niga membalas pelukan dengan melingkarkan tangannya. Sekali lagi, aku benar-benar egois dan keras kepala. Padahal baru beberapa waktu lalu aku sadar.

***

HOW I LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang