Many times I tried to tell you
Many times I cried alone
Always I'm surprised how well
You cut my feelings to the boneWe Belong-Pat Benatar
---
Nikah sama aku,Ari.
Kata-kata itu terus terdengar di telinga. Berulang-ulang sampai mual rasanya. Semakin kuacuhkan semakin mual pula. Niagara, orang itu yang menyebabkan diriku menderita seperti ini. Sekarang aku sedang berjalan kembali menuju rumah. Berjalan kaki.
Tadi aku menolak saat Niagara menawarkan diri mau mengantar. Ya masa aku menerima tawarannya sementara aku ingin kabur darinya. Jadi aku tidak mengatakan apapun saat dia mengucapkan kata-kata yang membuatku tersedak ludah disaat puasa dan membuatku merasa pusing serta mual memikirkannya.
Aku pergi begitu saja setelah menolak untuk diantar.
"Kak! Dari mana lo?" Genta yang menaiki sepeda gunung membuatku kaget. Dia mengendarai sepeda di sisi kanan, pelan-pelan mengikuti aku.
"Hm? Da-ri taman"
"Sama Mas Niagara,ya?" Tembak Genta, aku langsung mendelik. Ini salah, Genta jadi menggodaku terus.
"Cie~"
"Genta, please! Gue mau muntah" memang benar-benar ingin muntah jika Genta melanjutkan ejekannya.
"Iya-iya. Kenapa,sih?"
"Diem lo, anter gue pulang" tangan kiri Genta yang berada di stang sepeda kusingkirkan. Menerobos dan duduk menyamping di kerangka sepeda, tubuhku di depan Genta. Genta nampak tidak siap, hingga sepeda terasa sedikit oleng.
"Apaan sih,woy!" Genta menggerutu, namun mulai mengkayuh sepeda. Kami melewati rumah-rumah warga kompleks, sejuk dan rindang meski sekarang pukul tiga siang. Ada beberapa anak kecil yang bermain di depan sebuah rumah. Saat mereka melihat kearah kami, aku tersenyum lalu mereka membalas dengan lambaian tangan. Lucunya!
"Reza! Woy! Coy! Brada!" Menutup telinga, teriakan Genta sungguh dahsyat. Dia memang anggota keluargaku. Tangan kirinya melambai-lambai ke arah kanan.
"Woy! Dari mana?" Oh, ternyata ada seorang lelaki seumuran Genta, dia tersenyum saat pandangan kami bertemu. Aku hanya mengangguk saja.
"Jemput sayangku!" Ujar Genta tanpa menghentikan laju sepeda. Iya, dari tadi mereka saling sapa tanpa berhenti dulu dan bertatap muka baik-baik. Aku melempar pandangan 'apaan,sih. Jijik' pada Genta atas pernyataannya.
"Woo iya! Mampir deh!" Lelaki yang disapa Genta tadi balas berteriak meski sepeda sudah cukup jauh dari tempatnya. Suaranyapun semakin kecil. Dasar!
Genta tertawa-tawa sendiri. Aku berdecih, menghembuskan nafas,lalu kembali pusing dengan kata-kata Niagara. "Ta, gue diajak nikah. Sama Niagara"
Dagu yang kuletakkan pada tangan yang tertumpu pada stang sepeda Genta ikut oleng ketika sepeda yang kami kendarai juga oleng. Genta menghentikan laju sepeda sangat buru-buru. "Hah!?"
Genta saja terkejut apalagi aku. Menjawab keterkejutan Genta, aku hanya berdeham. "Demi apa!?"
"Demi Tuhan" daguku masih berada pada setang sepeda. Tidak ada suara beberapa saat, aku menoleh ke Genta. Dia menatap lurus padaku, matanya mengasihani dan tangannya terjulur mengelus rambutku.
"Selamat ya"
Sialan! Rambutnya langsung kujambak dan dia mengaduh kesakitan. Hampir saja kami berdua jatuh dari sepeda yang berhenti.
"Heh nenek lampir gila! lepasin. Adaw"
"Jalan" aku memerintahnya untuk kembali mengkayuh sepeda setelah menjambak sekuat tenaga. Sepedapun kembali melaju dikayuh Genta sesuai perintahku.
Lima menit kemudian kami sampai dirumah. Genta melimpahkan sepedanya padaku untuk di masukkan ke garasi. "Masukin, gue capek boncengin badak"
Ingin kucubit dia, tapi aku hanya mendapatkan kaosnya karena dia sudah lari masuk ke dalam rumah melalui celah pagar rumah yang terbuka sedikit. Jadilah aku membuka gerbang dulu agar muat untuk sepeda.
"Ari"
Astaga Ya Allah.
Hampir saja sepeda yang kupegang hanya menggunakan satu tangan terjatuh. Bunyi 'klang' badan sepeda yang menatap pagar besi, untungnya segera memberiku sinyal untuk mempertahankan sepeda agar tidak jadi terjatuh. Telapak tangan yang besar dan kulit punggung tangan yang agak kecoklatan membantuku memegangi sepeda. Seketika itu, jantung yang berdetak rasanya berhenti sejenak.
Duta. Duta sedang berdiri di hadapanku, setelah hampir dua bulan sejak hubungan kami berakhir tidak pernah bertemu. Aku bingung, Ya Allah. Aku bingung. Benar aku ikhlas putus dengannya. Tapi, entah mengapa kali ini melihat dia muncul dihadapanku secara tiba-tiba, aku sungguh tidak siap.
Waktu dua bulan terakhir yang kujalani penuh usaha untuk mengikhlaskan dia entah lari kemana. Seperti aku sedang kehilangan ingatan selama dua bulan tersebut. Sungguh, aku bingung pada diriku sendiri.
"Ari? Are you okay?"
Tahu rasanya kalau tangan yang baru saja tergores pisau disentuhkan pada garam?
Perih.
Aku tetap tidak bisa berkata satu katapun untuk memberi tanda bahwa aku melihat keberadaan Duta. Aku tetap diam ditempat dengan bibir yang rasa-rasanya saling menempel juga sepeda yang dengan bodohnya berusaha untuk jatuh.
"Ari?" Baru pada panggilan Duta yang ketiga ini aku mampu mengeluarkan anggukan yang kudapat dengan mengerahkan seluruh tenaga sisa yang telah kuusahakan untuk menyumpal saluran air mata.
"Ya? Ada apa?" Ujarku setelah menarik nafas dalam. Aku tahu getaran yang sengaja kusembunyikan tetap terdengar dalam kalimatku, jadi sambil menunggu jawaban Duta, aku berdoa agar getaran aneh yang menyedihkan itu tidak muncul lagi.
Duta berdeham dan menunduk, tangannya masuk kedalam saku jaket yang dikenakannya. Dari sini perasaanku semakin memburuk. Seperti ribuan setan menggerumbul ingin merasuki tubuhku. Tapi aku tetap bertahan menguasai diri.
"Ini.." aku menahan nafas-atau aku lupa bernafas, ketika selembar kertas yang terbungkus plastik bening dia angsurkan kepadaku. Jelas aku tahu itu kertas undangan.
"I will marry-" aku tahu! Sudah kubilang tahu, tolong jangan teruskan Duta. Kumohon!
"I will marry Nara, please we expect your presence."
Wah, kenapa jadi mellow begini,sih?
Tapi air mataku keluar juga dari persembunyiannya. Iya, aku terisak di depan Duta. Malu, memang malu. Tapi tidak terpikir pada saat itu. Semua kenangan yang pernah kualami bersama Duta muncul dan menari-nari di hadapanku. Membuat dada ini semakin sesak, dan pada titik terendah kemampuanku bertahan, kenangan dan kenyataan bahwa selama aku terisak dalam tangis adalah Duta yang selalu menenangkanku hadir dan memberi tamparan keras hingga aku kehilangan kesadaranku. Jiwaku seolah tidak mampu menguasai raga, tubuhku timpang dan oleng hingga jatuh tertumpu pada pagar. Kedua telapak tanganku menutupi wajah, mengintip dari baliknya, kulihat Duta bingung akan bertindak. Sesekali ia menoleh ke belakang. Dan aku menyadari bahwa Nara-calon pengantinnya , berdiri dibalik tubuh Duta.
Ya Tuhan.
Sakit.
Tangan seseorang melingkar pada tubuhku dan mengangkatku untuk berdiri tegak. Saat aku bergerak mendongak ingin melihat siapa, kepalaku dihadapkan pada dada orang tersebut, seluruh mukaku menempel pada baju yang ia kenakan. Tapi aku tahu bahwa itu jelas bukan Duta. Lalu aku digiring untuk berjalan, menoleh ke samping mencari celah dari balik lengan orang yang mendekapku ini bisa kulihat Duta diam di depan pagar bersama Nara. Merasa pusing, masih dengan isakan tangis aku kembali membenamkan kepala pada dada-entah milik siapa tapi kuasumsikan ini adalah Genta dan kuharap bukanlah Ayah, aku sudah sangat lelah dan kehilangan kontrol terhadap diriku sendiri. Suara ban sepeda yang berputar membuatku tahu bahwa Genta juga membawa masuk sepeda sialan itu. Sungguh, aku akan berterima kasih pada Genta karena telah menyelamatku dari situasi yang memalukan itu. Berkali-kali kuharapkan orang ini bukanlah Ayah.
Tiba-tiba saja langkah yang menarikku berhenti. Segera tanganku mendorong pelan tubuhnya dan menjauhkan tubuhku. Baru aku akan mendongak, tubuhku terasa sangat berat dan kepalaku pusing. Lalu tepat saat mataku menangkap bahwa yang di hadapanku adalah Niagara, aku benar-benar rubuh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW I LOVE YOU
RomanceKisah tentang proses mencintai seseorang yang sebelumnya sangat asing. Ariana, atau akrab dipanggil Ari, sedang patah hati karena hubungannya dengan kekasih kandas. Ia kira hanya butuh beberapa waktu untuknya menyembuhkan diri. Namun sepertinya just...